![]() |
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang) |
Jakarta, (potretperistiwa.com) - Memasuki awal tahun pelajaran 2025/2026, seluruh madrasah di Indonesia bersiap melaksanakan Masa Ta’aruf Siswa Madrasah (Matsama) mulai Senin, 14 Juli 2025. Program ini bukan sekadar pengenalan lingkungan madrasah, tetapi momentum penting untuk membangun komunikasi dan budaya kasih sayang antara siswa, guru, dan lingkungan madrasah — nilai yang sesuai dengan gagasan pendidikan berbasis cinta (Kemenag.go.id, 17 Mei 2025) tentang pentingnya rasa cinta dalam proses pembelajaran.
Di saat yang sama, muncul kebijakan pelarangan TNI-Polri dalam MPLS. Wamendikdasmen Atip Latipulhayat menegaskan unsur yang terlibat di MPLS hanya panitia, Dinas Pendidikan, dan Kemendikdasmen. Tidak boleh ada unsur lain di luar ketiga itu (Tempo.co- 13 Juli 2025). Namun, Pemerintah Jawa Barat - Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman. mengemukakan sikap kontra dan tetap melibatkan unsur TNI-POLRI dalam MPLS tingkat SMA dan SMK negeri di Jawa Barat (Tempo.co- 13 Juli 2025).
Dalam konteks madrasah, Matsama seharusnya menjadi sarana menanamkan nilai cinta kepada Allah, Rasul, orang tua, dan lingkungan. Proses ini dilakukan melalui kegiatan penguatan ukhuwah, akhlak, dan pengenalan Al-Qur’an, bukan melalui pendekatan otoritatif. Ini sejalan dengan pandangan penulis dalam artikel Pendidikan Disiplin Militer: Solusi Instan atau Problem Baru? (Kemenag.go.id-9 Mei 2025) yang mengingatkan agar tidak tergiur solusi instan yang bisa menurun ke muatan kekuasaan militeristik.
Karena itu, Matsama harus menjadi media panggung pengenalan nilai kasih sayang, kreativitas, dan pemuliaan kemanusiaan. Jika ingin melibatkan TNI-Polri, cukup pada sesi pendek seperti pengenalan dasar baris-berbaris atau wawasan kebangsaan, bukan mendominasi keseluruhan rangkaian. Dengan cara ini, madrasah membuktikan bahwa pendidikan Islami ramah anak, humanis, dan berbasis cinta bisa berjalan mulus tanpa ketegangan militeristik.
Pendidikan Humanis dan Kritik terhadap Disiplin Militeristik
Wacana pelibatan TNI-Polri di MPLS kembali menguat setelah sikap Pemerintah Jawa Barat yang tetap melibatkan mereka di tahun ajaran ini. Meski sebagian pihak melihat nilai positif dalam pembinaan disiplin, di sisi lain muncul kekhawatiran akan bahaya pendidikan militeristik yang bisa melahirkan generasi patuh tanpa nalar kritis (Kemenag.go.id, 9 Mei 2025). Praktik pendidikan yang terlalu keras dan berbasis perintah tanpa dialog justru berpotensi merusak karakter.
Dalam pendidikan Islam, pendekatan otoriter bertentangan dengan prinsip tarbiyah yang mengedepankan kasih sayang, keteladanan, dan kebijaksanaan. Pendidikan anak harus mencakup tiga aspek utama: Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa dengan akhlak mulia dan ibadah), Ta’limul ‘Ilm (pembelajaran ilmu agama dan dunia), serta Tarbiyatul Hikmah (pembinaan kebijaksanaan dalam bersikap dan menggunakan ilmu). Sebagaimana ditekankan Al-Ghazali, proses ini harus dilakukan secara bertahap, lembut, dan penuh teladan, bukan dengan paksaan atau tekanan, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang seimbang secara spiritual, intelektual, dan sosial.
Pendidikan humanis modern sebagaimana artikel, Dimensions of Basic Educational Character in the Qur’ān dalam Journal of Islamic Thought and Civilization (2025), menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam pembelajaran. Guru diposisikan sebagai pembimbing yang menginspirasi, bukan sekadar pengendali. Riset ini menunjukkan bahwa pendidikan berbasis nilai kemanusiaan Qur’ani melahirkan siswa dengan karakter empati sosial, kemampuan berpikir kritis, dan kepedulian tinggi terhadap lingkungan sekitar.
Lalu, gagasan Plato dan Aristoteles tentang keseimbangan antara etika, civic, dan sains juga relevan diterapkan di madrasah. Matsama seharusnya tak hanya menjadi sarana kedisiplinan teknis, tetapi membangun solidaritas, kejujuran, kedisiplinan bertanggung jawab, dan semangat belajar yang tumbuh dari motivasi diri. Pendidikan harus menjadi ruang yang memanusiakan manusia.
Jika madrasah melibatkan TNI-Polri dalam Matsama, harus dibatasi pada pendampingan teknis (seperti disiplin atau wawasan kebangsaan partisipatif), tanpa menggeser otoritas pendidik. Pendekatan ini wajib menjunjung prinsip rahmatan lil ‘alamin, memuliakan peserta didik sebagai subjek aktif, dan jelas membedakan pendidikan karakter dari pelatihan militeristik. Kolaborasi harus proporsional, berorientasi nilai kemanusiaan, dan bebas dari simbolisasi kekuasaan. Dengan ini, MATSAMA tetap menjadi fondasi pendidikan Islami yang humanis dan bermartabat.
Matsama di Madrasah: Model Pendidikan Cinta dan Humanisme Qur’ani
Madrasah sejak dulu dikenal sebagai institusi pendidikan Islam yang ramah anak, penuh keteladanan, dan menempatkan nilai cinta sebagai landasan pembentukan karakter. MATSAMA di madrasah tidak boleh hanya menjadi ajang formal pengenalan madrasah, tetapi harus menjadi momentum membentuk hubungan emosional antara siswa baru, guru, dan lingkungan yang dilandasi kasih sayang.
Kegiatan Matsama dapat dikemas dalam program yang mengenalkan siswa pada budaya saling menghormati, akhlak terhadap guru, adab pergaulan, dan pentingnya menjaga ukhuwah antar-teman. Di samping itu, pengenalan Al-Qur’an, shalat berjamaah, serta kisah-kisah inspiratif tentang Rasulullah dan para ulama dapat menjadi metode efektif menanamkan nilai cinta kepada agama sejak awal.
Selain itu, Matsama sebaiknya diisi dengan aktivitas kreatif-edukatif seperti pelatihan seni Islami, permainan edukasi, pengenalan organisasi siswa, dan simulasi kegiatan sosial. Pola ini bertujuan agar peserta didik merasa nyaman, diterima, dan termotivasi menjalani masa-masa awal mereka di madrasah tanpa tekanan atau intimidasi.
Nilai kemanusiaan dan empati sosial juga bisa ditanamkan sejak Matsama melalui kegiatan bakti sosial, pengenalan lingkungan sekitar madrasah, serta pesan moral tentang pentingnya peduli terhadap sesama. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan Qur’ani yang tidak hanya mendidik akal, tetapi juga hati dan kepedulian sosial.
Model pendidikan cinta yang dijalankan sejak Matsama diharapkan mampu membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga lembut jiwanya, berakhlak mulia, dan memiliki kemampuan berinteraksi secara santun di tengah masyarakat. Inilah wujud nyata madrasah sebagai pelopor pendidikan karakter yang rahmatan lil ‘alamin.
Keberhasilan Matsama berbasis cinta dan humanisme Qur’ani akan menjadi investasi jangka panjang dalam membangun kultur madrasah ramah anak yang bebas kekerasan dan buliyying, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Konsep ini membuktikan bahwa madrasah mampu menjadi model pendidikan karakter berbasis nilai luhur di era modern.
Matsama 2025 harus menjadi tonggak penting pembaruan pendidikan madrasah berbasis cinta dan nilai humanisme Qur’ani. Ini bukan sekadar rutinitas pengenalan, melainkan awal strategis membangun relasi emosional yang hangat antara siswa baru, guru, dan lingkungan madrasah. Suasana penuh kasih sayang, keteladanan, dan penghargaan akan menjadi bekal awal bagi peserta didik untuk mencintai madrasah dan proses belajarnya.
Rangkaian kegiatan Matsama idealnya dirancang inspiratif dan edukatif, mulai dari pembiasaan kebersihan lingkungan, literasi keagamaan, motivasi akhlak, hingga aktivitas seni Islami, edukasi sosial, dan kisah motivasi yang menyentuh hati. Kolaborasi dengan orang tua, alumni, serta tokoh masyarakat dalam suasana kekeluargaan juga akan memperkuat keterikatan emosional dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap madrasah.
Dengan konsep demikian, Matsama tidak sekadar mengenalkan lingkungan fisik madrasah, tetapi menjadi ruang awal menanamkan nilai kemanusiaan, empati sosial, dan pendidikan karakter berbasis cinta. Madrasah diharapkan mampu tampil sebagai pelopor pendidikan rahmatan lil ‘alamin yang memuliakan peserta didik dan menjunjung tinggi nilai Qur’ani.
Inilah saatnya madrasah membangun peradaban pendidikan yang berbasis cinta, adab, dan nilai kemanusiaan dalam setiap aktivitasnya. Matsama bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi fondasi penting yang menentukan kultur madrasah sebagai pelopor pendidikan ramah anak—yang menjunjung tinggi nilai Qur’ani, membangun tradisi akademik Islami yang unggul, modern, dan humanis, serta mewujudkan madrasah hebat bermartabat.****
Posting Komentar