Besok Warga Bangkinang Beramai - Ramai Rayakan " Aghi Ghayo Onam"


Keterangan Foto : Pelaksanaan Ziarah Kubur oleh Warga Bangkinang pada saat hari Raya Onam/cmczone.com.


Hari Rayo Onam, Antara Tradisi dan Ibadah ?

Kampar, (potretperistiwa.com) - Tradisi Hari Raya Enam adalah kegiatan yang rutin dilakukan masyarakat Bangkinang, Kabupaten Kampar- Riau setiap tahunnya. Hari Raya Enam atau "Ayi Ayo Onam" dilaksanakan pasca perayaan hari Raya idul fitri atau setiap 7 Syawal.


Jika tidak ada aral melintang, besok pada Senin (9/5/2022) masyarakat Bangkinang Kabupaten Kampar - Riau secara beramai - ramai kembali akan menggelar Hari Raya enam " Ayi Ayo Onam" atau Ayi Ghayo Zorah.


Disebut dengan hari Raya Ghayo Zorah karena pada saat perayaan warga Bangkinang beramai - ramai melaksanakan ziarah kubur. Hampir setiap Dusun ataupun Desa di Bangkinang melakukannya secara turun temurun, dengan berziarah secara berkelompok yang jumlahnya mencapai ratusan orang bahkan ribuan.


Selain itu hari Rayo Onam juga dilaksanakan sebagai ajang silahturahmi dengan kerabat, teman, dan kenalan juga dilakukan masyarakat Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau saat Lebaran. Tidak hanya di rumah, kegiatan berkumpul, saling menyapa serta berjabat tangan juga dilakukan di tengah pemakaman kemudian acara tersebut ditutup dengan makan bersama “Bajambau”.


Salah satu warga Bangkinang Jamil, pada Minggu (8/5/2022) kepada media ini mengaku akan ikut serta dalam perayaan hari ayo onam tersebut. Dirinya mengaku bahwa kegiatan ini setiap tahun iya laksanakan karena sudah menjadi tradisi yang mengakar di Kabupaten Kampar.


" Setiap Tahun saya bersama keluarga selalu melaksanakan Hari Rayo Onam, ini sudah menjadi tradisi kami " ujar Jamil saat diwawancara di kediamannya.


Dikatakannya, bahwa kegiatan hari rayo onam ini banyak faedah dan mamfaat, dimana pada hari raya ini kita dapat berbagi dan bersilaturrahmi antar sesama baik masyarakat sekitar maupun para perantau yang telah lama meninggalkan kampung. Pada perayaan ini semua perantau pulang ke kampung dengan membawa serta seluruh anggota keluarga untuk diperkenalkan ke warga kampung, katanya.


Selain itu dikatakan Jamil, selain acara ziarah kubur nantinya juga pesta rakyat seperti pacu goni, panjat pinang dan tarik tambang bagi pemuda-pemudi hal itu tentunya dilaksanakan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama, tutur dia.


Hal senada juga dikatakan Fendi, menurutnya dalam perayaan hari raya ini kita dapat berkumpul dan bersama - sama melaksanakan ziarah kubur, tentu pada ziarah kubur banyak manfaat dan hikmah yang kita petik.


" Banyak mamfaat yang kita ambil.  Pelaksanaan Ziarah kubur ini adalah untuk mengingatkan akan kematian, makanya secara bersama-sama disetiap Makam yang dikunjungi kita bacakan do'a untuk para arwah agar diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya dan dimasukkan ke Surganya Allah SWT, karena lambat laun kita akan menyusul mereka " beber Fendi.


Nah, Sobat Potret Peristiwa, bagaimana tanggapan anda dalam perayaan hari rayo onam ini, karena selain tradisi yang sudah mengakar sebagian kelompok juga menganggap tradisi hari rayo onam bid' ah...?


Dikutip dari bpir-media.com, berikut sedikit pendapat dari al-Faqir Dr. H. Zul Ikromi, Lc., MA, terkait hari rayo onam :


Mengingat 'hari Raya' 6 ini hakikatnya hanyalah manifestasi syukur, dimana ia telah diberikan taufiq dan kemudahan dalam menjalankan Sunnah Nabi dalam puasa Syawal. Kesyukuran itu lahir dalam bentuk membuat makanan tertentu dan menghadiahkanya kepada karib kerabat, sanak famili, dan Jiran tetangga.


الحكم على الشيء فرع عن تصوره


" Menghukum sesuatu, mesti tau terlebih dahulu hakikat apa sebenarnya sesuatu itu..''


Inilah salah satu langkah yg ditempuh ulama fiqih sebelum mengeluarkan fatwa. Dari tashawwur yang benar baru di'takyiif' untuk selanjutnya diberikan penjelasan hukum.


Dari metode di atas, ulama yg membolehkan 'Hari Raya' 6 menganggap hal ini bukanlah menambah - nambah syariat, tradisi ini ada hanya sekedar bentuk sedekah makanan, silaturahmi dan diikuti pula dengan ziarah kubur.


Perayaan ini sama halnya dengan merayakan hari kemerdekaan sebuah negara, hari buruh, hari Ibu, dan lain sebagainya.


Di Mesir ada 'hari Raya' pembebasan Sinai (Thursina). Hari dimana Mesir menang perang, berhasil mempertahankan Sinai dari Israel. Pada tanggal tersebut, warga Mesir bergembira, semua instansi diliburkan (tanggal merah). Mereka kunjung mengunjungi, hadiah menghadiahi dan memberikan jamuan makan.


Dalam konteks keindonesiaan, ada hari lahirnya Pancasila, berikut hari 'kesaktian' Pancasila. Dimana, di hari - hari tersebut mereka 'bergembira' mengingat kisah - kisah heroik dan kisah lainnya. Oleh karenanya mereka bersedekah, membaca sejarah, dan silaturahmi.


Persoalan ini pernah ditanyakan kepada Guru kami di al-Azhar dulu, Syaikh 'Athiyyah Shaqar dalam himpunan fatwanya berjudul Fatawa al-Azhar.


Berikut ringkasan fatwanya:


ﻣﺎ ﺭﺃﻯ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻰ اﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺪﻭﻝ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩ ﻣﺜﻞ ﺃﻋﻴﺎﺩ اﻟﻨﺼﺮ ﻭﻋﻴﺪ اﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭﻋﻴﺪ ﺭﺃﺱ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ؟


Apa pandangan Islam tentang perayaan di sebagian negara seperti memperingati hari kemerdekaan, hari buruh, perayaan awal tahun dan sebagainnya?


Beliau menjawab:


ﻭﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩﻳﻨﻰ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻌﻴﺪﻯ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻷﺿﺤﻰ، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮﺹ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻭاﻹﺳﺮاء ﻭاﻟﻤﻌﺮاﺝ ﻭاﻟﻤﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻮﻯ


Hukum Memperingati Hari Besar kaitannya dengan agama ada 2. Pertama, adalah dijelaskan dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Kedua, tidak dijelaskan dalam agama seperti hijrah, Isra’ dan Mi’raj, serta Maulid Nabi


ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﺆﺩﻯ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻯ ﺷﺮﻉ، ﻭﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻠﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻔﺎﻥ، ﻣﻮﻗﻒ اﻟﻤﻨﻊ ﻷﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﻣﻮﻗﻒ اﻟﺠﻮاﺯ ﻟﻌﺪﻡ اﻟﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻪ


Perayaan yang dijelaskan dalam Islam hukumnya disyariatkan dengan syarat dilakukan sesuai perintahnya. Dan perayaan yang tidak dijelaskan dalam Islam maka bagi umat Islam ada 2 pendapat. Ada yang melarang karena dianggap Bid’ah. Ada juga yang membolehkan karena tidak ada dalil yang melarangnya.


ﻓﺎﻟﺨﻼﺻﺔ ﺃﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﺄﻳﺔ ﻣﻨﺎﺳﺒﺔ ﻃﻴﺒﺔ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻐﺮﺽ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻭاﻷﺳﻠﻮﺏ ﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻻ ﺿﻴﺮ ﻓﻰ ﺗﺴﻤﻴﺔ اﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺑﺎﻷﻋﻴﺎﺩ، ﻓﺎﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺴﻤﻴﺎﺕ ﻻ ﺑﺎﻷﺳﻤﺎء


Kesimpulannya. Apapun bentuk perayaan yang baik adalah tidak apa-apa, selama tujuannya sesuai dengan syariat dan rangkaian acaranya masih dalam koridor dalam Islam. Boleh saja peringatan itu disebut perayaan. Sebab yang dinilai adalah subtansinya, bukan namanya.

(Fatawa Al-Azhar, 10/160)


Sekali lagi, 'Hari Raya' 6 hanya sekedar bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dengan menyuguhkan makanan khas, dinikmati bersama setelah puasa sunah 6 hari bulan Syawal. Juga disertai ziarah kubur. Namun, jika ada kekeliruan dalam ziarah ini maka cukup dengan memperbaiki kekeliruan tersebut. Misalnya, jika terjadi ikhtilat, sebisa mungkin dihindarkan dengan aturan-aturan khusus.


Di sisi lain, sementara pakar juga mengomentari bahwa potensi ikhtilat ini ada di setiap 'perayaan' dan perkumpulan. Tak terkecuali Idul Fitri, Idul Adha dan bahkan di saat Ibadah Haji. Tinggal kita menghindarinya sebisa mungkin demi menjaga kesucian jiwa.


Kembali ke persoalan, bukankah Nabi hanya mengakui 2 hari raya dan tidak mengakui selain Idul Fitri dan Idul Adha? Nabi bersabda:


«ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﻭَﺇِﻥَّ ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻫَﺬَا اﻟﻴَﻮْﻡُ»


“Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita” (HR Bukhari dan Muslim)


Syaikh Athiyah Saqar (Mufti al-Azhar) menjawabnya:


ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻧﺺ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﻔﺮﺡ ﻭاﻟﺴﺮﻭﺭ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻌﻴﺪﻳﻦ، ﻓﻘﺪ ﺳﺠﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺮﺡ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻨﺼﺮ اﻟﻠَّﻪ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺮﻭﻡ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻐﻠﻮﺑﻴﻦ ” ﺃﻭاﺋﻞ ﺳﻮﺭﺓ اﻟﺮﻭﻡ “.


Tidak ada dalil yang melarang untuk menampakkan rasa bahagia di selain 2 hari raya tersebut. Sungguh Al Qur’an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yang diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yang dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum.

(Fatawa Al-Azhar, 10/160)


Saya pribadi sepakat dengan Fatwa ini. Namun jika ada yang tidak setuju, biarlah ia menjadi perdebatan di ranah ilmiyah yang jangan sampai merusak kerukunan hati kita sesama muslim


Bagaimanapun, diperlukan kearifan dan hati yang lapang jika berhadapan dengan persoalan ikhtilaf.


Wallahu a'lam.....


Penulis : Asril

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama