Bab 3 : Pengakuan di Malam Takbir


Ramadan tahun ketiga. Segala sesuatu terasa seperti film yang diputar ulang, kecuali kali ini, rasa sakitnya terasa semakin menusuk. Kirana tiba, Rian bersembunyi. Kirana beraktivitas di rumah nenek, Rian mengamatinya dari jauh, dipenuhi rasa bersalah yang kini sudah menjadi identitasnya.

Malam itu adalah malam takbiran. Udara dipenuhi suara bedug yang bertalu-talu dan gema takbir yang merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Di desa Pesisir Utara, tradisi mengharuskan seluruh warga keluar, berjalan kaki mengelilingi batas desa sambil membawa obor dan melantunkan takbir.

Kirana, bersama Nenek Mayang dan beberapa tetangga perempuan, berada di barisan tengah.

Rian ada di barisan laki-laki, beberapa meter di depannya. Mereka tidak bicara, tidak bertukar pandang. Hanya takbir yang menjadi satu-satunya suara penghubung.

Saat rombongan takbir tiba di simpang tiga, tempat jalanan mulai menanjak ke arah bukit, terjadi sedikit kekacauan karena ada anak-anak yang berlarian. Kirana terpisah sebentar dari rombongannya.

Tiba-tiba, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya, membawanya menepi, masuk ke balik bayangan pohon Ketapang besar yang rimbun—pohon tempat mereka dulu berbagi janji.

Itu Rian. Wajahnya tampak lelah, matanya memerah.

"Jangan pergi," pintanya, suaranya tercekat, bersaing dengan hiruk pikuk takbir yang memantul dari tembok surau.

Kirana merasakan tubuhnya membeku. Ini kali pertama mereka sedekat ini, setelah dua tahun keheningan. Ia mencoba melepaskan tangannya, tetapi Rian menggenggamnya kuat.

"Lepaskan, Rian. Aku harus kembali ke nenek," bisik Kirana dingin. Ia harus menjaga dinding ini tetap utuh.

"Tolong, Kira. Aku tahu aku salah," Rian mengabaikan permintaannya. Ia menatap langsung ke mata Kirana, tatapan yang penuh kepedihan dan tuduhan diri.

Air mata Rian mulai menetes. "Aku sudah mencoba mencari alasan. Tapi aku hanya menemukan satu, dan itu adalah diriku sendiri.

Kau diam, kau memutusku, karena aku tak punya keberanian untuk melawan adat itu. Aku menyerah, dan kau membenciku karena itu."

Rian menarik napas, suaranya kini bergetar. "Aku terima kebencianmu. Aku terima jika kau menganggapku pengecut. Tapi tolong, sekali ini saja, katakan padaku. Apa benar aku sebegitu salahnya sampai kau bahkan tak mau tahu apakah aku hidup atau mati selama dua tahun ini?"

Pengakuan rasa bersalah Rian, yang dilandasi kesalahpahaman bahwa Kirana membencinya, adalah pukulan telak bagi Kirana.

Hancur. Dinding yang ia bangun dengan susah payah selama dua tahun itu ambruk.

Kirana melihat bukan pengecut, melainkan laki-laki yang ia cintai sedang merangkai bayangannya sendiri tentang penolakan. Ia melihat Rian yang terluka parah.

"Aku... aku tidak membencimu, Rian," Akhirnya, kata-kata itu keluar, pecah dan rapuh.

Rian terdiam, seolah tak percaya. "Lalu kenapa? Kenapa kau diam? Kenapa kau membunuh semua komunikasi di antara kita? Itu lebih menyakitkan daripada perpisahan itu sendiri, Kira!"

Kirana memejamkan mata. Ia tahu, sekarang saatnya. Kebohongan sunyi ini harus dihentikan, meski risikonya, mereka akan saling menyakiti lagi...

"Karena... karena jika aku tetap bicara denganmu, Rian, aku tidak akan pernah bisa melupakanmu," jawab Kirana, air matanya kini membasahi pipi.

"Jika aku masih mendengar suaramu, aku akan terus membujukmu untuk melanggar adat itu.

Aku akan menyeretmu ke dalam kutukan yang ditakuti semua orang. Aku akan membuat Nenek dan orang tuamu malu. Diam adalah cara satu-satunya bagiku untuk memastikan kau tidak kembali padaku."

Kirana memegang kedua pipi Rian. "Aku tidak diam karena benci, Rian. Aku diam karena terlalu cinta. Aku tidak ingin kau mempertaruhkan seluruh hidupmu, seluruh keluargamu, hanya demi aku."

Jantung Rian serasa tertusuk. Selama ini, ia menyalahkan diri sendiri karena dianggap pengecut, padahal Kirana diam karena pengorbanan cinta yang lebih besar.

"Kau... kau membiarkanku hidup dalam rasa bersalah selama ini?" tanya Rian, suaranya parau, campur aduk antara lega dan terluka.

Kirana mengangguk. "Maafkan aku, Rian. Tapi jika aku tidak melakukannya, kita tidak akan pernah benar-benar selesai."

Suara takbir terus menggaung, seolah menjadi saksi atas pengakuan pahit di bawah pohon Ketapang itu. Mereka kini tahu kebenaran, tetapi kebenaran itu tidak mengubah takdir. Adat tetap ada, dan larangan itu tetap mengikat.

Mereka melepaskan pandangan, tahu bahwa malam itu adalah titik akhir dari sebuah kesalahpahaman, tetapi bukan titik awal dari sebuah kebersamaan. Perpisahan mereka, setelah dua tahun diwarnai kebisuan, kini terasa lebih nyata dan menyakitkan, karena mereka tahu: Cinta itu masih ada, hanya saja tak terizinkan.

Bersambung...


Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama