Bab II: Di Atas Es Tipis.
Trimester pertama adalah neraka bagi Rini. Bukan karena mual yang hebat, melainkan karena topeng yang ia kenakan harus tebal dan sempurna. Dimas menjadi suami paling perhatian di dunia. Ia menjadwalkan kunjungan dokter, memilih makanan organik, dan bahkan berhenti lembur pada hari-hari tertentu hanya untuk menemani Rini.
"Kau harus banyak istirahat. Jangan sampai calon anak kita kekurangan nutrisi," ujar Dimas suatu pagi, menyuapkan sarapan mahal yang ia pesan khusus.
Rini membalas dengan senyum paksa. Ia tahu perhatian ini tulus, dan itu yang paling menyakitkan. Dimas mencintai janin ini, sebuah janin yang ia yakini adalah "penyelamat" dari pernikahan yang nyaris mati.
Panggilan dari Masa Lalu
Tekanan psikologis Rini datang dari Arif. Pria itu tidak bisa menghilang begitu saja.
Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel Anya.
> [Pesan Teks]: Bagaimana kabarnya? Apa ia tumbuh dengan baik? Beri aku tahu, atau aku yang akan mencari tahu.>
Rini gemetar. Ia menghapus pesan itu, memblokir nomornya. Ia tahu Arif akan terus mencoba. Ia tak bisa menanggapi, sebab setiap respons akan menjadi jejak. Arif bukan tipe pria yang akan menyerah pada "miliknya."
Pada suatu malam, saat Dimas tertidur lelap setelah seharian rapat, ponsel Rini bergetar.
> [Pesan Teks ]: Aku melihat post-mu di Instagram. Pakaian hamilmu indah. Tapi aku lebih suka melihat aslinya. Jangan lupa, Rini, ia adalah darahku.>
Rini berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya, bukan karena mual kehamilan, tetapi karena teror Arif. Ia menyadari Arif telah menguntitnya melalui media sosial, mengamati setiap gerak-geriknya dari bayangan.
Retakan Pertama: Kode Medis
Saat memasuki bulan kelima, dokter meminta hasil tes darah yang lebih detail, termasuk pemeriksaan genetik minor. Dimas menemaninya, penuh antusiasme.
Beberapa hari kemudian, dokter Rini memanggilnya secara pribadi, tanpa Dimas.
"Nyonya Rini, ada sedikit kejanggalan dalam kode genetik resesif. Tidak berbahaya, tetapi... seandainya ini anak Tuan Dimas, seharusnya tidak muncul kombinasi gen ini. Ini sangat langka, kecuali... jika ada garis keturunan yang sangat spesifik dari ayah biologis." Dokter itu menatap Rini dengan tatapan penuh tanya, namun tetap profesional.
Jantung Rini seperti berhenti. Ia telah membayar mahal untuk bungkamnya sang dokter soal golongan darah, kini muncul lagi kode genetik yang mengkhawatirkan.
"Saya... mungkin ada kesalahan lab, Dokter. Kami sudah lama menikah dan Tuan Dimas sangat ingin anak ini. Tolong, jangan ada yang tahu tentang hal ini. Kesalahan sekecil apa pun bisa merusak rumah tangga kami," pinta Rini, suaranya hampir memelas.
Ia menambahkan, "Saya akan membayar berapa pun agar hasil yang ada di arsip Tuan Dimas adalah normal."
Dokter itu menghela napas, melihat keputusasaan Rini. "Saya akan pastikan arsip utama yang diakses Tuan Dimas bersih, Nyonya. Tapi Anda harus tahu, kebenaran punya cara sendiri untuk muncul."
Bayangan Menjadi Kenyataan
Di bulan ketujuh, hal yang paling ditakuti Rini mulai terjadi. Saat baby shower yang mewah, Dimas memajang foto ultrasound 4D. Semua tamu berdecak kagum, memuji hidung mancung dan bibir penuh bayi.
"Wajahnya fotocopi Dimas sekali, ya," ujar Tante Rina, saudara Dimas.
Rini tersenyum, tapi pandangannya terpaku pada hidung bayi. Hidung itu mancung, ya, tetapi ada bentuk tulang tertentu yang Rini kenal betul—bentuk hidung yang persis milik Arif. Dimas tidak punya tulang hidung setajam itu. Arif punya.
Malam itu, Rini membuka laci. Ia mencari foto Dimas dan Arif saat mereka masih kuliah—mereka memang teman lama. Ia membandingkan foto Dimas dan Arif dengan foto ultrasound.
Tangan Rini gemetar. Dimas memiliki mata sipit dan rahang keras. Arif memiliki mata besar dan rahang yang lebih lembut, serta hidung yang lebih dominan.
Janin ini... memiliki kombinasi yang membuatnya tampak mirip Dimas sekilas, tetapi dengan sentuhan Arif yang tidak terbantahkan pada mata dan hidung. Bayangan itu mulai terlihat.
Tepat dua minggu sebelum hari perkiraan lahir, Arif mengirim satu pesan terakhir yang membuat Rini hampir pingsan.
> [Pesan Suara]: (Suara Arif terdengar pelan, seperti bisikan) Rini, aku akan pindah ke London minggu depan. Aku hanya ingin bertemu dengannya sekali saja. Sebelum dia lahir. Sebelum kau benar-benar menjadikannya milik Dimas. Aku akan menunggumu di lobi hotel tempat kita pertama kali bertemu, besok sore. Jika kau tidak datang, aku akan datang ke rumahmu dan mengambil hakku secara terbuka>.
Ancaman itu nyata. Arif tak lagi bermain-main. Ia telah memberikan ultimatum.
Rini tidak tahu harus berbuat apa. Jika ia pergi, Arif akan memanfaatkannya. Jika ia tidak pergi, Arif akan menghancurkan segalanya di depan Dimas.
Ia menatap perut besarnya. Ia hanya ingin melindungi anak yang tak berdosa ini, anak yang harus menanggung dosa kedua orang tuanya. Ia tahu, masa depan mereka—Jaya, Dimas, dan dirinya—tergantung pada keputusannya malam ini.
Bersambung....

Posting Komentar