Bab 2: Senja Merah dan Hati yang Membatu
Setelah kejadian dengan Ayu, Ustadz Cahaya memutuskan untuk tidak menunggu komunitas datang kepadanya, melainkan ia yang harus mendatangi mereka. Rumah Lentera perlu diaktifkan.
Ia menghabiskan beberapa hari pertama dengan menyusun jadwal sederhana: kelas membaca Al-Qur'an setelah Maghrib, kajian ringan tentang Akhlakul Karimah (akhlak mulia) setiap malam Minggu, dan yang terpenting, jam konsultasi pribadi setiap sore.
Rizky membantunya menyebarkan selebaran di tempat-tempat strategis: toko bahan makanan halal, stasiun kereta api yang dilewati pekerja migran, dan warung makan Indonesia.
Responsnya lambat, bahkan cenderung dingin. Banyak yang terlalu lelah sepulang kerja, dan sebagian besar merasa tidak nyaman dikaitkan dengan kegiatan keagamaan di ruang publik.
"Ustadz," kata Rizky suatu sore dengan nada pesimis, "Di sini, mencari uang adalah agama. Urusan akhirat nanti saja, katanya. Mereka takut identitas mereka terlalu menonjol. Apalagi Ayu, dia bahkan tidak mau menerima bantuan uang dari kami."
Ustadz Cahaya tersenyum tipis. "Rizky, ingatlah, cahaya itu tidak memaksa, ia hanya hadir. Tugas kita bukan memaksa mereka datang, tapi memastikan lentera kita menyala terang sehingga jika mereka mencari, mereka tahu ke mana harus melangkah. Kita mulai dari hal yang paling dasar: memasak bersama."
Strategi Dapur dan Hati
Ustadz Cahaya mengganti strategi dakwahnya dari ceramah menjadi pelayanan. Ia dan Rizky mulai memasak masakan Indonesia dalam porsi besar di Rumah Lentera setiap hari Jumat sore. Aroma rendang dan gulai yang gurih pun mulai menyebar ke gang-gang kecil di sekitar kontrakan.
Jumat sore berikutnya, beberapa wajah baru mulai muncul. Bukan untuk mendengarkan kajian, melainkan untuk mengambil sebungkus makanan gratis, kenikmatan cita rasa tanah air yang langka. Ustadz Cahaya tidak memaksa mereka duduk atau mendengarkan wejangan; ia hanya menyapa, bertanya kabar pekerjaan, dan mendoakan kesehatan mereka.
Di antara kerumunan yang datang, muncul seorang pria tua Jepang bernama Mr. Hiroshi (65 tahun), pemilik toko kelontong di sudut jalan.
"Baunya enak sekali," ujar Mr. Hiroshi, membungkuk hormat. "Apakah ini makanan yang sering kalian sebut Rendang?"
"Ah, iya, Mr. Hiroshi. Silakan coba. Ini perpaduan rempah dari tanah air kami," kata Ustadz Cahaya, menyodorkan piring kecil.
Mr. Hiroshi mencicipi dengan mata terpejam. "Luar biasa. Ini mengingatkanku pada masakan nenekku, rasanya 'hangat'."
Perkenalan ini adalah pintu pertama Ustadz Cahaya untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal. Ia menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari ajaran Islam tentang berbagi dan menghormati tetangga.
Pencarian Ayu di Tengah Senja
Suatu sore menjelang musim gugur, Ustadz Cahaya melihat Ayu kembali berjalan tergesa-gesa di dekat stasiun, membawa tas besar yang terlihat berat. Kali ini, ia sendirian.
Ia segera mengejar. "Ayu! Tunggu sebentar!"
Ayu berhenti, wajahnya menunjukkan campuran rasa kesal dan terdesak. "Mau apa lagi, Pak Ustadz? Saya tidak butuh ceramah atau uang sumbangan. Saya sedang bekerja."
Ustadz Cahaya mengatur napas. Ia tidak membahas agama atau masalahnya. "Saya melihat kamu membawa tas yang berat. Apa kamu sudah makan? Mau mampir sebentar ke Rumah Lentera? Ada soto ayam hangat, buatan saya sendiri."
Ayu menatapnya sinis. "Saya tidak lapar."
"Saya tahu kamu tidak lapar," jawab Ustadz Cahaya lembut, "Tapi saya rasa kamu kelelahan. Duduklah sebentar, setidaknya minum teh hangat. Tidak ada khutbah, janji."
Kelembutan dan ketulusan dalam suara Ustadz Cahaya meluluhkan benteng pertahanan Ayu. Air mata mulai menggenang di matanya. Ia adalah seorang wanita muda yang sudah lama menahan beban dan keputusasaan sendirian.
"Saya... saya tidak punya waktu," bisik Ayu, suaranya bergetar.
"Waktu untuk Tuhanmu, untuk dirimu, dan untuk orang yang peduli padamu, selalu ada. Saya tidak akan menahanmu lama," kata Ustadz Cahaya sambil mengulurkan tangan kanannya, bukan untuk menyentuh, melainkan sebagai isyarat dukungan. "Di sinilah cahaya itu berada. Di dalam hati kita."
Ayu akhirnya mengangguk pelan. Ia mengikuti Ustadz Cahaya dengan langkah gontai menuju Rumah Lentera, membawa serta beban cerita yang akan segera terungkap.
Saat mereka berjalan, dari kejauhan, dua orang pria berpakaian preman yang dikenal sebagai penagih utang di kalangan pekerja migran, memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.
Mereka adalah Kaito dan Yamada, yang selama ini mengancam Ayu.
Mereka melihat Ustadz Cahaya sebagai penghalang baru yang mengganggu "bisnis" mereka.
"Siapa pria peci itu? Dia mengganggu mangsa kita," gerutu Kaito.
"Biarkan saja dia bermain-main dengan makanan spiritualnya. Kita lihat sampai kapan dia bisa bertahan di negeri yang hanya menghargai uang ini," balas Yamada sambil menyeringai licik.
Ustadz Cahaya kini tidak hanya berhadapan dengan apatisme, tapi juga dengan ancaman nyata dari pihak-pihak yang tidak suka komunitas Muslim memiliki pembela.
Bersambung.....

Posting Komentar