Bayangan di Rahim


Bab I : Benih Pengkhianatan


Jendela kaca lantai dua puluh kantor Dimas seakan menelan matahari sore Jakarta. Di balik kemegahan itu, Rini, sang pemilik rumah tangga, hanya merasa kedinginan. Sudah tiga tahun pernikahan, dan tiga tahun pula ia merasa perannya menyusut dari istri menjadi dekorasi elegan di samping Dimas.

"Malam ini aku ada dinner dengan investor dari Korea, Sayang. Tolong jangan menunggu," ujar Dimas semalam, tanpa menoleh dari layar laptopnya. Kalimat itu diucapkan dengan nada lelah, bukan nada menyesal.

Rini menyandarkan kepala ke kaca jendela, memandang kota yang tampak begitu sibuk dan tak peduli. Ia punya segalanya: rumah mewah, kartu kredit tanpa batas, dan status Nyonya Besar. Tapi ia tidak punya Dimas.

Keinginan Dimas akan anak sangat kuat, hampir seperti obsesi yang melampaui keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama Rini. Setiap kegagalan kehamilan bulanan selalu disambut dengan senyum getir Dimas, lalu dilanjutkan dengan jadwal kunjungan dokter dan suplemen yang baru.

Dimas mencintai ide tentang keluarga yang sempurna, tetapi melupakan proses untuk mencapainya.

Rini mencoba mengisi kekosongan itu dengan menjadi sukarelawan di sebuah pameran seni kontemporer. Di sanalah ia bertemu Arif.

Arif adalah kurator pameran itu, seorang pria dengan tatapan mata yang hangat dan senyum yang bisa membuat Rini merasa terlihat—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

"Lukisan ini menceritakan tentang kehampaan di tengah keramaian. Orang melihatnya indah, tapi esensinya adalah kesepian," jelas Arif, berdiri di samping Rini.

Rini terkesima. "Itu... deskripsi yang tepat untuk hidup saya," bisiknya tanpa sadar.

Arif menoleh, senyumnya menghilang, digantikan oleh simpati yang tulus. "Jangan berkata begitu. Seseorang dengan cahaya di mata seperti Anda tidak diciptakan untuk menjadi hampa."

Malam itu, mereka minum kopi—hanya kopi. Mereka berbicara tentang seni, tentang impian yang terkubur, dan tentang bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan seseorang yang terasa asing.

Arif memberikan apa yang Dimas telah lama tarik darinya. Hubungan itu dimulai dengan obrolan larut malam, pesan teks rahasia, dan janji bertemu "hanya untuk minum kopi." Namun, janji itu hancur pada suatu malam di mana Dimas membatalkan janji makan malam pernikahan mereka yang ketiga, dengan alasan darurat bisnis yang tidak bisa ditunda.

Rini patah. Ia menelepon Arif, dan Arif datang.
Malam itu adalah satu-satunya malam mereka. Malam yang dipenuhi rasa bersalah yang dicampur aduk dengan kehangatan yang mendalam. Arif meyakinkan Rini bahwa ia layak dicintai sepenuhnya, bahwa ia tidak hanya sekadar dekorasi. Saat fajar menyingsing, Rini melarikan diri, kembali ke rumahnya yang mewah, diselimuti aroma parfum Arif yang mencoba ia hilangkan dengan mandi berulang kali.

Dua minggu berlalu dalam ketakutan. Rini menghitung mundur jadwal menstruasinya, berdoa agar semua kembali normal. Ia dan Arif sepakat, malam itu adalah kesalahan, dan mereka akan melupakannya.

Namun, yang datang bukanlah lega, melainkan dua garis merah samar di alat tes kehamilan.
Rini terduduk di lantai kamar mandi, napasnya tercekat. Ia hamil. Setelah tiga tahun menanti dan mencoba, ia hamil di malam yang salah, dengan pria yang salah.

Panik itu baru saja akan memuncak ketika suara kunci pintu berputar. Dimas pulang.

"Sayang, aku di sini!" seru Dimas, suaranya terdengar tidak biasa—penuh semangat. Ia masuk ke kamar mandi, melihat Rini pucat dengan test pack di tangannya.

Wajah Dimas berubah. Senyum lebar, yang paling tulus yang pernah dilihat Rini dalam bertahun-tahun, merekah. Dimas mendekat, meraih tangan Rini, dan mencium keningnya lama sekali.

"Sayang... kita berhasil. Kau memberiku anak," bisik Dimas, air mata haru menggenang di matanya. "Kau menyelamatkan kita."

Rini tidak bisa bicara. Melihat kebahagiaan murni di wajah Dimas, kelegaan yang ia anggap sebagai 'keajaiban' dan 'penyelamat' pernikahan mereka, lidah Rini terasa kelu. Bagaimana ia bisa menghancurkan momen ini, menghancurkan harapan pria yang meskipun menyebalkan, adalah suaminya?

Di saat itu, Rini membuat keputusan yang akan menghantui hidupnya. Ia menelan semua kebohongan dan rasa bersalah, memeluk Dimas dengan erat, dan berbisik, "Iya, Sayang. Kita berhasil."

Dalam pelukan suaminya, Rini tahu. Bayangan di Rahim itu bukan hanya janin, tetapi adalah bayangan Arif, yang kini akan tumbuh di rumahnya, di bawah nama Dimas, menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Bersambung......

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama