Oleh: Asril Ketua Dewan Pimpinan Daerah Solidaritas Pers Indonesia Kabupaten Kampar
Kampar, (potretperistiwa.com) - Kabar mengenai ketidakharmonisan, bahkan pertikaian terbuka, antara Bupati dan Sekretaris Daerah (Sekda) di sejumlah daerah belakangan ini kian meresahkan. Dua pucuk pimpinan tertinggi dalam birokrasi daerah ini seharusnya menjadi nahkoda yang solid dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik. Namun, ketika energi mereka terkuras dalam konflik internal, masyarakatlah yang pada akhirnya menanggung kerugian paling besar. Pertikaian ini bukan hanya drama politik lokal, melainkan sebuah ”catatan buruk” yang mencoreng wajah birokrasi di mata rakyat.
Sekda, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) tertinggi dan manajer birokrasi, memiliki peran krusial dalam membantu Bupati merumuskan kebijakan dan memastikan implementasi program berjalan efektif. Bupati, di sisi lain, adalah pemegang mandat politik yang menentukan arah pembangunan. Jika kedua figur ini berada dalam 'perang dingin' atau saling sikut, yang terjadi adalah kelumpuhan koordinasi dan perlambatan kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Lihatlah dampaknya:
Pelayanan Publik Terganggu: Fokus OPD dan para kepala dinas akan terpecah. Mereka mungkin gamang, cemas salah langkah, atau bahkan terpaksa berpihak. Akibatnya, proses perizinan, layanan kesehatan, pendidikan, atau penyaluran bantuan sosial menjadi lambat dan tidak efisien. Waktu yang seharusnya digunakan untuk merespons keluhan masyarakat habis untuk meredam riak-riak konflik atasan.
Anggaran dan Program Terhambat: Proses penyusunan atau perubahan anggaran bisa tersendat jika terjadi kebuntuan komunikasi antara pemegang kewenangan politik dan manajer anggaran. Program-program strategis yang sudah direncanakan berisiko batal atau tertunda, merugikan upaya pembangunan daerah.
Hilangnya Kepercayaan Publik: Pertikaian terbuka antara Bupati dan Sekda adalah tontonan yang memprihatinkan. Masyarakat akan melihat para pemimpinnya sibuk dengan urusan pribadi dan kekuasaan, alih-alih fokus pada kepentingan rakyat. Hal ini secara langsung mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah daerah, menumbuhkan sinisme, dan memperburuk citra birokrasi yang seharusnya melayani.
Ironisnya, konflik ini seringkali berakar pada kepentingan pribadi, perebutan pengaruh, atau ambisi politik, bukan karena perbedaan pandangan substantif mengenai kemaslahatan rakyat. Rakyat tidak peduli siapa yang benar atau salah di antara mereka; yang rakyat butuhkan adalah hasil nyata dari kinerja pemerintah: jalan yang mulus, pendidikan yang layak, dan layanan yang cepat.
Sudah saatnya Bupati dan Sekda menyadari bahwa jabatan mereka adalah amanah, bukan arena pertarungan ego. Jika ketidaksepakatan tidak dapat diatasi secara dewasa dan profesional, mekanisme pengawasan dan pembinaan dari Gubernur atau bahkan Kementerian Dalam Negeri harus segera turun tangan.
Pertikaian internal ini harus segera diakhiri. Jika tidak, "catatan buruk" ini akan terus bertambah tebal, dan yang rugi adalah pembangunan daerah serta hak-hak dasar masyarakat yang terabaikan. Rakyat sudah lelah menjadi korban dari drama kekuasaan para pejabatnya. Prioritaskanlah kepentingan rakyat di atas segalanya.****
Posting Komentar