Novel : Cahaya di Negeri Seberang


Bab 1: Titik Balik di Tanah Rantau


Ustadz Cahaya  (25 tahun) bukanlah sekadar seorang dai biasa. Ia adalah lulusan terbaik dari universitas Islam terkemuka di Timur Tengah, dikenal karena pemahaman fikihnya yang mendalam dan kemampuan menyampaikan dakwah dengan sentuhan psikologis yang lembut. Wajahnya yang teduh dan pembawaannya yang tenang memancarkan karisma yang sulit diabaikan.

Pagi itu, sebuah pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Kyoto, Jepang. Di antara deretan penumpang yang bergegas keluar, melangkahlah Ustadz Cahaya. Ia mengenakan kemeja rapi dan peci hitam, kontras dengan keramaian orang-orang berpakaian kasual di sekitarnya.

Keputusannya untuk hijrah sejenak ke Jepang adalah sebuah panggilan yang tak terduga. Bukan untuk berdakwah di masjid-masjid besar atau mengisi seminar-seminar akbar, melainkan untuk sebuah misi yang lebih personal: mendirikan "Rumah Lentera", sebuah pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi para diaspora Muslim Indonesia yang sering kali merasa terasing dan kehilangan arah di tengah gemerlap budaya yang asing.

"Assalamualaikum, Ustadz. Selamat datang di Nippon," sapa seorang pria muda berjaket tebal, yang ternyata adalah Rizky, koordinator komunitas Muslim Indonesia setempat.

"Waalaikumussalam Warahmatullah, Rizky. Alhamdulillah, sampai juga saya," jawab Ustadz Cahaya, tersenyum hangat. Senyumnya selalu membawa ketenangan.

Kota Kyoto menyambut Ustadz Cahaya dengan perpaduan unik antara modernitas dan tradisi kuno. Namun, di balik keindahan kuil-kuil bersejarah dan ketertiban kota, tersembunyi tantangan besar: apatisme spiritual.


Setibanya di sebuah rumah kontrakan sederhana yang akan dijadikan Rumah Lentera, Ustadz Cahaya mulai menyadari bahwa masalah yang dihadapi komunitas Muslim di sana jauh lebih kompleks. Banyak yang bekerja keras dari pagi hingga malam, meninggalkan shalat, dan perlahan-lahan hanyut dalam gaya hidup sekuler. Anak-anak mereka mulai kesulitan berbahasa Indonesia, apalagi membaca Al-Qur'an.

Malam harinya, setelah shalat Isya, Ustadz Cahaya mengeluarkan sebuah buku catatan kecil. Ia menuliskan sebuah ayat yang selalu menjadi pegangannya: “Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya: 107)

Perjumpaan yang Menggugah

Saat sedang membersihkan halaman Rumah Lentera keesokan harinya, Ustadz Cahaya melihat seorang gadis muda Indonesia, Ayu (22 tahun), berjalan melewatinya dengan tatapan kosong. Ia tampak lelah dan membawa beberapa kantong plastik berisi pakaian bekas.
"Assalamualaikum, Dek. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Ustadz Cahaya dengan ramah.
Ayu terkejut. Ia menoleh, wajahnya pucat. "Waalaikumussalam. Tidak, Pak. Saya buru-buru," jawabnya dingin, dan berjalan cepat tanpa menatap.

Rizky berbisik kepada Ustadz Cahaya, "Itu Ayu, Ustadz. Salah satu pekerja migran yang kabarnya sedang ada masalah besar. Sudah lama tidak ke acara komunitas. Katanya sudah hampir menyerah di sini."

Ustadz Cahaya menatap punggung Ayu yang menghilang di belokan gang. Dalam hati, ia berujar, "Di negeri yang terang benderang ini, ternyata masih banyak jiwa yang mencari cahaya-Nya."

Ia mengerti, dakwahnya di "Negeri Seberang" ini harus dimulai dengan sentuhan hati, bukan sekadar ceramah di podium. Misi pertamanya adalah menemukan Ayu dan menawarkan harapan.

Bersambung......

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama