Mengenang Jendral TNI Makmun Murod Putra Asli OKU Sumsel

Narrated by : H. Ahmad Haidar.


OKU_Sumsel, (potretperistiwa.com) - Dalam rangka memperingati hari jadi  Tentara Nasional Indonesia  yang ke-76 pada tgl 5 Oktober  2021,  ada baiknya kita membuka sejarah dan mengenang kembali  peranan sosok seorang pemuda  pejuang mantan perwira giyugun, pelopor dan pendiri  Badan  Penjaga Keamanan Rakyat  ( BPKR )  tahun 1945 di Baturaja.  BPKR adalah cikal bakal  Tentara Nasional Indonesia  ( TNI ), , pemuda tersebut yang pada waktu itu masih ber-usia 21 tahun  adalah  Makmun Murod.  Beliau adalah satu satunya  tentara pejuang  asal  OKU  tepatnya  Dusun Baturaja yang  berhasil mencapai puncak tertinggi  dibidang kemliteran di Republik ini dengan pangkat terakhir Jenderal TNI  ( bintang empat ). H. Makmun Murod pernah juga menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ( KSAD 1974-1978 ) Republik Indonesia. Beliau telah wafat mendahului kita menghadap Sang  Kholiq pada hari Selasa  tanggal 13 September 2011 jam 12.40 WIB  di Jakarta dan telah dikebumikan secara militer  pada hari Rabu  14 September 2011 di Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Untuk mengenang  dan mengenal beliau lebih dekat , penulis mencoba menyajikan ringkasan  otobiografi beliau  yang termaktup didalam buku otobiografi  “  PENGABDIAN  H. MAKMUN MUROD  VETERAN  PEJUANG KEMERDEKAAN  R.I  ‘  yang diterbitkan  pada bulan Nopember 2003.  Tulisan ini hanya menceritakan kembali perjuangan Pemuda Makmun Murod dalam ikut serta  mempertahankan kemerdekaan di derah Sumatera Selatan. dalam rentang waktu  tahun 1945 sampai dengan tahun 1949. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.


Makmun Murod lahir di Baturaja pada tgl  24 Desember 1924, ayahandanya bernama Depati A. Murod, cucu  Pangeran Hajib kedua duanya pernah menjabat Pasirah Kepala Marga Bindung Langit Lawang Kulon Baturaja. Pada tahun 1939,  setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat 5 tahun di Baturaja, Makmun belia  merantau ke Palembang  melanjutkan sekolah MULO ( SMP ), namun disayangkan baru duduk dibangku klas tiga, pada bulan Maret 1943 tentara Dai Nippon  menguasai seluruh wilayah Indonesia termasuk Kota Palembang dan semua yang berbau Belanda dihapus dan diganti dengan suasana Jepang  termasuk pula sekolah  MULO tempat Makmun  muda  menuntut ilmu ikut  juga ditutup Jepang, Makmun  terpaksa berhenti sekolah  dan  mudik pulang kampung ke Baturaja.  Kalau  di Pulau Jawa Penguasa Jepang membuka Sekolah Perwira Militer PETA, maka di Sumatera  pada  tahun 1943  Penguasa Jepang membuka pula  sekolah perwira militer Giyugun khusus diperuntukkan bagi anak negeri, yang  pelatihannya  dipusatkan di Pagar Alam. Bagi Jepang pendirian sekolah-sekolah militer  tersebut mempunyai arti penting  dimaksudkan nantinya  akan membantu Jepang dalam perang melawan  menghadapi tentara sekutu, namun sebaliknya  dihati para taruna sekolah militer  tersebut telah tertanam tekad  untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia  dari tangan penjajah. Makmun muda  bersama ratusan pemuda patriotik lainnya mengikuti seleksi penerimaan  dan sebanyak 265  taruna  diterima,  setelah menempuh pendidikan  selama enam bulan  ke- 265 taruna militer  tersebut dinyatakan lulus dan dilantik menjadi perwira Giyugun dengan pangkat  SHOI  ( Letda ). Shoi Makmun Murod  sempat  menjabat Shodancho ( danton )  dibeberapa tempat di daerah Sumatera Bagian Selatan  ( Lampung, Jambi, Bengkulu dan Sumsel ).  Menjelang akhir kekuasaan Jepang di Indonesia, Makmun Murod sedang menjabat sebagai  Shodancho di Kota Lahat.  Pada tanggal 14 Agustus 1945  Jepang bertekuk lutut  menyerah tanpa syarat terhadap tentara sekutu, dengan demikian seluruh badan, instansi baik sipil maupun militer  bentukan Jepang di tanah air dinyatakan  bubar, termasuk  juga perwira-perwira Giyugun   “ OWARE  KAWARE  /  SEKIAN BUBAR  “


Makmun  Murod dan kawan kawan sesama mantan perwira Giyugun lainnya  bergerak cepat mengambil tinndakan dan keputusan  untuk segera menghadap dan mendukung penuh Dr. A.K. Gani  yang telah diangkat sebagai Residen Palembang oleh  Pemerintah Republik Indonesia  yang baru saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.  Atas petunjuk pemerintah pusat Dr. AK. Gani dan para pemimpin lainnya segera membentuk Badan Penjaga Keamanan Rakyat  ( BPKR ) di kota Palembang. Selanjutnya Dr. AK. Gani memerintahkan   pula agar para  mantan perwira giyugun dan tokoh pemuda lainnya   segera   membentuk BPKR  di derahnya masing masing.,  Pada tgl 5 September 1945  Makmun Murod  di usia 21 tahun  bersama  mantan giyugun dan tokoh tokoh pemuda asal OKU  lainnya  a.l.  Zurbi Bustan, Wahab Sarobu, Wahab Uzir, ,  M. Arif,  Amir Bakri,  Firly Bakri, , Muhizar Nawi, dan Alichidir Bustan membentuk BPKR Baturaja.  Pada tgl 13 September 1945  atas perintah pimpinan pusat,  BPKR diubah menjadi Badan Keamanan Rakyat ( BKR )  dan selanjutnya berturut turut berkembang  berobah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat – selanjutnya pada tgl 5 Oktober 1945  memjadi Tentara Keamanan Rakyat  ( TKR – yang dikemudian hari ditetapkan sebagai hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ),  kemudian  berkembang lagi menjadi Tentara Republik Indonesia  dan terakhir  pada tgl 3 Juni 1947  sampai dengan sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia ( TNI ).


Desember 1945 BKR Baturaja  sudah berhasil menyusun  struktur satuan tempur  setingkat regu, kompi dan bataliyon. Sedang untuk biaya operasionalnya sehari hari masih sangat tergantung  dengan  bantuan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten OKU dan  sumbangan dari masyarakat,  dibidang persenjataan  dan kendaraan BKR  Baturaja  berhasil merampas sebagian kecil persenjataan tentara Jepang.


Pada tanggal 27 Desember 1945  Dr. A.K. Gani  selaku Residen Palembang dan Penguasa Perang daerah Sumbagsel telah berhasil pula menyusun struktur komandemen militer Daerah Sumbagsel. Makmun Murod  dengan pangkat kapten diangkat menjadi Komandan Bataliyon  II Resimen IV Baturaja , dengan demikian sejarah mencatat  bahwa Makmun Murod  dalam usia 21 tahun adalah  orang pertama  yang menjabat komandan bataliyon  di  Baturaja . Enam bulan kemudian Makmun Murod dimutasi  dan dipercaya menjabat komandan bataliyon 32 Resimen XV Divisi II Garuda  yang bermarkas di jalan Sekanak Palembang dengan daerah operasinya  Talang Kerikil, daerah 35 Ilir Tatang, daerah Bukit Besar dan Daerah Suro.


Dengan alasan  untuk melucuti tentara Jepang, pada tanggal  12 Oktober 1945  satu Brigade Infantri tentara Inggris ( sekutu )  mendarat di Palembang dan beberapa bulan kemudian pada tanggal 13 Maret 1946  mendarat lagi satu brigade infantry tentara sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda. Dipenghujung tahun 1946 tentara Belanda mulai memprovokasi  tentara kita dan mulai menteror rakyat sehingga terjadilah  saling tembak secara sporadis  dan puncaknya  pada hari Rabu tanggal 1 Januari 1947  Belanda  menyerang kota Palembang secara besar-besaran  melalui  darat, laut dan udara. Walaupun persenjataan dan peralatan perang tidak seimbang para pejuang kita tak kenal mundur didalam mempertahankan kemerdekaan, lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dibawah penjajah,  Perang  besar ini berlangsung sengit selama 5 hari 5 malam,  dan banyak memakan korban  jiwa baik dipihak musuh maupun di kalangan para pejuang kita anatara lain yang gugur adalah Lettu Ahmad Rivai  ( namanya diabadikan menjadi nama salah satu  jalan protokol di Palembang yakni Jl. Kapten A. Rivai )  dan  Lettu Soerodjo. Untuk menghadapi  tentara Belanda/sekutu yang notabene peralatan tempurnya  cukup dan modern pasukan tentara kita dan pejuang lainnya terpaksa menghindari perang frontal dan menerapkan perang griliya  kota, Makmun Murod  beserta para pejuang lainnya  dibantu pula oleh pasukan yang datang dari Lampung, Baturaja dan Lahat berhasil mempertahankan kota Palembang.


Namun demikian atas pertimbangan  peralatan perang yang kurang memadai  dan perjuangan yang masih panjang, maka para pemimpin kita  ditingkat Propinsi  menerima tawaran perundingan dari pihak Belanda  untuk  menghentikan  kontak senjata  ( cease fire ). Salah satu butir kesepakatannya adalah Kota Palembang dibawa kontrol Belanda  dan   pasukan pejuang kita harus mundur  sejauh  radius 20 km dari kota Palembang. Dengan adanya ketentuan tersebut pasukan dibawa komando Makmun Murod terpaksa mundur dan bermarkas di daerah Simpang dan di dusun Tanjung Sejaro.  Sambil  istrirahat menghilang penat setelah perang lima hari lima malam  Makmun Murod  melaksanakan konsolidasi dengan  komandan-komandan bataliyon lainnya diseputaran kota Palembang  untuk tetap waspada dan siap menghadapi  serangan-serangan Belanda berikutnya. Tidak berapa lama berada di front  Simpang  Makmun Murod dipindah tugaskan bergabung  dengan Bataliyon 30 Resimen 45 yang bermarkas di Langkan Muba , dengan Komandan Bataliyonnya   Kapten Animan Achyat (  Ayah  Ir. Eddy Sentana mantan Wali Kota Palembang ). 


Pada tanggal 25 Maret 1947  terjadi perjanjian Linggar Jati,  dan secara de facto Belanda mengakui  kemerdekaan Republik Indonesia  di Jawa dan Sumatera ,  namun perjanjian inipun dilanggar pula oleh Belanda  pada tgl 21 Juli 1947  ( Perang Kemerdekaan Pertama )  pasukan Belanda  mengadakan serangan besar-besaran diseluruh front  daerah Republik Indonesia  dan berhasil menduduki seluruh kota-kota di daerah Sumbagsel, pada tanggal tersebut  sehari penuh front Langkan  diserang habis-habisan oleh Belanda dari seluruh lini, darat, laut dan udara,  walaupun  persenjataan dan amunisi kurang memadai,  pasukan Makmun Murod  berhasil  menghabisi banyak tentara Belanda. Apa hendak  dikata  karena persejataan kurang mendukung Makmun Murod beserta pejuang lainnya terpaksa  meninggalkan Front Langkan   mundur ke Desa Pangkalan Balai dan Desa Epil  selanjutnya mendirikan markas di Front Terusan Sungai Guci,  Dimalam hari yang gelap gulita tiba-tiba  pasukan Belanda  menyerang  Front Terusan Sungai Guci  sehingga  terjadi kontak senjata yang seru,  pada malam itu telah gugur beberapa tentara dan pejuang kita   sebagai syuhada. Dengan berlindung dikegelapan malam  pasukan Makmun Murod  berhasil lolos dari kepungan tentara Belanda dan mundur ke desa Lumpatan,  September 1947 Makmun Murod  bersama Komandan Resimen Mayor Dani Effendy  memperkuat garis pertahanan terdepan  Front Babat Toman ( Muba ).  Mengingat persenjataan  dan amunisi yang kurang memadai  Makmun Murod dan komandan-komandan tentara  lainnya di Sumbagsel terpaksa  memakai taktik perang griliya. Taktik perang griliya ini ternyata  mampu  membuat mereka  tetap bertahan  cukup lama di Front Babat Toman. Taktik perang griliya ini juga  menimbul banyak korban di pihak Belanda  dan membuat mereka frustrasi. 


Karena mendapat banyak tekanan dari pihak internasional  Belanda terpaksa menanda tangani perjanjian  Renville yang intinya penghentian kontak senjata ( cease fire )  antara tentara Belanda dan Tentara Nasional Indonesia ( TNI )  dan ditentukan pula daerah status quo yang baru.. Ternyata perjanjian ini juga tidak langgeng, pada tanggal 19 Desember 1948  Belanda  kembali melancarkan Aksi Militer  Kedua  dengan  membombander lapangan terbang Maguwo dan  menduduki Yogyakarta  Ibu Kota Republik Indonesia.  Tidak hanya Yogakarta, Belanda juga menduduki kota-kota lainnya diseluruh  daerah Republik Indonesia,  tak ketinggalan Front  Babat Toman  di Sekayu pun diserang Belanda.


Minggu pagi tanggal 19 Desember 1948,  disekitar jam 07,00 tiba-tiba  suara morter, howitzer dan senajata otomatis lainnya memecah keheningan pagi sebagai pembukaan  serangan dari pasukan Belanda  terhadap Front Babat Toman,  Makun Murod , dan  Lettu Usman Bakar  ( Wadanyon XI Garuda )  beserta pasukannya  berusaha semampunya mempertahankan front Babat Toman, namun apa mau dikata , persenjataan dan peralatan tempur Belanda jauh lebih  unggul dan modern, akhirnya  pukul 15.00  pasukan pejuang kita terpaksa  meninggalkan  Front  Babat Toman,  menyingkir ke Dusun Talang Buluh, Makmun Murod bersama dengan Animan Achyat  membentuk front baru di Desa Tanah Abang Muba,  Selama berbulan-bulan pasukan Makmun Murod dan Pasukan Animan Achyat  melakukan perang griliya menghadapi tentara Belanda, Atas kesepakatan bersama dan dengan persetujuan komandan diatasnya , kedua pasukan ini  meninggalkan MUBA  dan berpindah ke daerah Muara Lakitan dan Muara Kelingi Musi Rawas.


Sewaktu berada di Musi Rawas, Makmun Murod mendapat informasi  bahwa induk pasukannya yakni Bataliyon XI Garuda  Merah dengan Danyonnya Kapten Dani Effensy  yang juga merangkap sebagai komandan  Sektor Militer Palembang Selatan yang berkedu dukan di Desa Simpang Sender Ranau  tidak mempunyai pasukan sebagai kekuatan yang langsung dibawah komandonya.  Atas pertimbangan yang matang Makmun Murod dan Animan Achyat   beserta pasukannya akhirnya berangkat dengan berjalan kaki menuju Simpang Sender Ranau. Sebagaimana kita maklumi bahwa  zaman itu  pasukan kita belum memiliki peralatan  tempur , peralatan komunikasi, dan kenadaraan angkutan  yang layak, disamping itu pula kota-kota dan jalan raya pada umumnya dibawah kontrol Belanda,  Makmun Murod  bersama pasukannya  terpaksa memotong kompas menembus hutan rimba , menyeberangi sungai , mendaki bukit dan menuruni lembah menuju ke Desa Simpang Sender Ranau. Untuk mencapai daerah Lahat saja  Makmun Murod beserta pasukannya  terpaksa melintasi Rimba  Semanggus yang belum pernah di jamah manusia,  dengan bantuan tiga orang suku Kubu  sebagai penunjuk jalan ,  dan setelah berjalan lima hari di kegelapan  Rimba  pasukan tersebut  berhasil mencapai Talang  Bungur  desa Cecar Kikim Lahat, Keesokan harinya pasukan ini meneruskan perjalan  sampai ke Talang Bembe  Ujan Mas Muaraenim dan bermalam di Talang Lontar  Muaraenim.  Setelah istirahat semalam pasukan ini  bergerak keTalang Puntang  Desa Merapi Lahat, dalam perjalanan menuju desa Semendo Darat, Makmun Murod dan pasukannya   dihadang  Belanda  di Talang Batu Ampar daerah Air Lawai Muara Enim, dua orang pejuang gugur yakni Kopral Bakri dan Pratu Aziz. Setelah  melintasi Bukit Barisan  dan Bukit Ringgit ( ulu tulung sungai Ogan  ) sebanyak  kurang lebih 200 orang pasukan ini  sampai ke Desa Bayur Kisam, bermalam di dusun Fajar Bulan  dan dusun Tenang Bungkuk. Sewaktu sedang berada kedua dusun ini tiba-tiba  Belanda menyerang  secara mendadak dan kemudian mundur, dalam serangan ini gugur koprla Sirodj. Setelah merasa aman  Makmun Murod bersama  pasukannya meneruskan perjalanan sampai ke Simpang Sender  dan  bergabung dengan induk pasukannya. Long march ini sejak dari Babat Toman sampai ke Simpang Sender memakan waktu  hampir empat bulan. Long march selama 4 bulan ini  banyak suka dukanya  dan yang tak kalah pentingnya   adalah menyatunya  tentara dengan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Oleh  Danyon Kapten Dani Effendi,  Makmun Murod  ditempatkan di front Dusun Wairelai dan dusun Sukarami Ranau  sedang Animan Achyat ditempatkan  di Dusun Banding Agung Ranau. Pada tanggal  23 Juni 1949  dua pesawat tempur Belanda menembaki dan mengebom   markas pertahanan  Sektor Militer Palembang Selatan di Simpang Sender  secara membabi buta,  rumah-rumah penduduk pun ikut menjadi sasaran.  Serangan ini  membawa korban seorang WNI keturunan China tewas.


Awal September 1949, Komandan  Sektor Militer  Palembang Selatan Kapten Dani Effendy  memberi tugas baru kepada Makmun Murod dan pasukannya bergerak maju membantu pasukan-pasukan TNI di  Baturaja, Ogan Ulu area, Muaraenim sampai ke daerah Prabumulih. Dengan tetap mengandalkan jalan kaki pasukan ini mulai bergerak  melalui hutan pinggiran  menuju  Muaradua, Baturaja dan terus ke Ogan Ulu,  di Talang Bukit Napuh Padang Bindu  terjadi kontak senjata antara  pasukan Makmun Murod dengan tentara Belanda, dalam  kontak senjata ini lima tentara Belanda tewas, dan pihak kita  satu orang penunjuk jalan tewas dan dua orang  warga juga  tewas  ditembak Belanda di dusun Batang Hari. Untuk  membalas kekalahannya di Talang Bukit Napuh, Belanda  mengerahkan 2 bataliyon tempur  mengejar pasukan Makmun Murod, namun yang dikejar sudah meneruskan perjalanan ke area  Muaraenim dan Prabumulih.  Makmun Murod  mendirikan markas di Bukit Kancil dusun  Tanjung Menang  23 km dari Prabumulih.  Agustus 1949 terjadi perjanjian Konferensi Meja Bundar di Denhag Belanda yang intinya penghentian tembak menembak ( cease fire ) dan kerajaan Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia., Akhir September 1949, Makmun Murod  dan seluruh pasukannya kembali bergabung dengan induk pasukannya di Simpang Sender Ranau.


Pada Akhir  Desember 1949, Makmun Murod dan pasukannya  mendapat tugas baru  untuk mengambil alih  kedudukan  bataliyon tentara Belanda di Kayu Agung. Dengan penuh rasa haru  didepan ribuan masyarakat Kayu Agung,  Makmun Murod memimpin upacara penurunan bendera merah putih biru dan dengan di iiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya  Sang Saka  Merah Putih  berkibar mega di bumi Kayu Agung OKI,  dan diseluruh tanah air untuk selama-lamanya. Merdeka.


Nirata Hotel Baturaja : 

05 Oktober 2021.  H. Ahmad Haidar.

Sumber Bacaan : 

Otobiografi  Pengabdian H. Makmun Murod Pejuang Kemerdekaan R.I.


Laporan : Arief _Kabiro_OKU

Print Friendly and PDF

1 Komentar

  1. Semoga Allah muliakan beliau krn perjuangan yg tak kenal lelah demi bangsa dan negeri tercinta... Amin

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama