Bab 3: Hutang dan Hikmah Kebijaksanaan
Ayu duduk di sudut ruangan Rumah Lentera yang sederhana. Ia memegang cangkir teh hangat dengan kedua tangan, mencoba menenangkan sarafnya. Ustadz Cahaya duduk di hadapannya, diam, sabar, dan tidak menuntut.
"Tidak ada yang akan menghakimimu di sini, Ayu," ujar Ustadz Cahaya, memecah keheningan.
"Cahaya adalah nama saya, dan tugas saya adalah menerangi tanpa menyilaukan.
Ceritakanlah apa yang membebani hatimu."
Setelah menarik napas dalam, Ayu mulai bercerita. Ia datang ke Jepang dengan harapan menafkahi keluarganya di kampung, namun ia terjerat janji palsu agen tenaga kerja. Gaji yang dijanjikan tidak sesuai, dan yang lebih buruk, ia terpaksa meminjam uang dengan bunga tinggi dari rentenir lokal—kelompok yang dipimpin Kaito dan Yamada—untuk biaya operasional ayahnya yang sakit.
"Mereka mencekik saya, Ustadz," Ayu menangis tersedu-sedu. "Bunga pinjaman itu terus berlipat ganda, dan mereka mengancam akan mengirim foto-foto saya yang tidak pantas ke keluarga saya jika saya lari. Saya malu. Saya merasa sudah tidak punya harga diri lagi. Bahkan shalat pun saya tinggalkan karena merasa kotor."
Ustadz Cahaya mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk. "Dosa sebesar apa pun, pintu taubat Allah selalu lebih besar.
Jangan pernah putus asa dari rahmat-Nya. Perasaan kotor itu adalah ujian, Ayu. Itu tanda hatimu masih hidup dan berjuang mencari kebenaran."
Ustadz Cahaya menjelaskan bahwa dalam Islam, praktik riba (bunga) adalah haram, dan Allah memerintahkan umat-Nya untuk menjauhi praktik tersebut. Namun, ia tidak hanya berhenti pada hukum agama, ia mencari solusi praktis.
"Kita tidak akan melawan mereka dengan kekerasan, tapi dengan hukum dan kebijaksanaan," tegas Ustadz Cahaya.
Ustadz Cahaya segera menghubungi seorang pengacara Muslim Indonesia yang sudah lama tinggal di Tokyo. Mereka bersepakat bahwa praktik rentenir dengan bunga mencekik adalah ilegal di Jepang. Pengacara tersebut bersedia membantu Ayu dengan syarat: Ayu harus memiliki keberanian untuk melawan.
Ustadz Cahaya mengadakan pertemuan darurat dengan anggota komunitas Muslim yang mulai rutin datang ke Rumah Lentera. Ia menjelaskan situasi Ayu tanpa menyebut nama rentenir. Ia mengajak mereka bergotong royong membantu melunasi pokok hutang Ayu sebagai bentuk Qardh Al-Hasan (pinjaman kebaikan tanpa bunga).
Ia meminta Ayu untuk kembali menguatkan ibadahnya. "Lawan rasa takutmu dengan sujud, Ayu. Biarkan Allah menjadi perisaimu."
Malam itu, Mr. Hiroshi datang membawa beberapa boks sayuran dari ladangnya. Ia terkejut melihat wajah Ayu yang sembab dan keramaian di Rumah Lentera.
Ustadz Cahaya memutuskan untuk jujur pada Mr. Hiroshi, menceritakan masalah kemanusiaan yang dihadapi Ayu dan beberapa pekerja migran lain, tanpa merinci detail sensitif.
"Mr. Hiroshi," kata Ustadz Cahaya, "Kami berusaha menerapkan ajaran agama kami, yaitu menolong yang lemah dan menegakkan keadilan. Ini adalah misi kemanusiaan universal. Kami hanya ingin mereka hidup damai di negeri Anda."
Mr. Hiroshi terdiam sejenak. Ia adalah seorang penganut Shinto yang menjunjung tinggi kehormatan (Meiyo) dan keharmonisan (Wa).
"Tindakan para penagih itu... tidak menghormati Wa," ujar Mr. Hiroshi. "Mereka merusak kehormatan. Saya akan membantu kalian."
Ia menggunakan pengaruhnya sebagai pedagang lama untuk mencari tahu detail operasional Kaito dan Yamada.
Ia menawarkan diri menjadi penengah dalam pertemuan, karena kehadirannya sebagai warga lokal yang terhormat akan memberikan perlindungan dan tekanan moral.
Dengan uang pokok hutang yang sudah terkumpul dari iuran komunitas, dan didampingi Mr. Hiroshi, Ustadz Cahaya dan Ayu menemui Kaito dan Yamada di sebuah kedai kopi.
Kaito tertawa sinis saat Ustadz Cahaya mengajukan uang pelunasan pokok hutang. "Ini tidak cukup! Bunganya sudah tiga kali lipat. Kecuali kau mau melunasi bunganya, atau... gadis ini menjadi jaminan kami."
Ustadz Cahaya tetap tenang. Ia meletakkan amplop tebal berisi dokumen legal dari pengacara.
"Kami datang dengan niat baik untuk melunasi pokok hutang. Namun, kami juga datang dengan dasar hukum," kata Ustadz Cahaya, suaranya mantap. "Tindakan kalian melanggar undang-undang anti-rentenir di sini. Jika kalian memaksa mengambil bunga ilegal, maka ini akan menjadi kasus kriminal yang melibatkan kepolisian dan imigrasi. Dan Mr. Hiroshi adalah saksi dan penengah kami."
Kehadiran Mr. Hiroshi yang bermartabat dan dokumen hukum yang kuat membuat nyali Kaito dan Yamada menciut. Mereka tidak ingin berurusan dengan hukum dan kehilangan muka di depan komunitas lokal.
Akhirnya, dengan wajah masam, mereka terpaksa menerima pokok hutang dan membatalkan semua bunga ilegal. Cahaya telah menang, bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan kebijaksanaan, solidaritas, dan hukum yang adil.
Ayu menatap Ustadz Cahaya dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa syukur. Ia telah mendapatkan kembali kebebasan dan harga dirinya.
Bersambung....

Posting Komentar