Bab III: Wajah Kebenaran
Kelahiran dan Wajah yang Tak Terbantahkan
Rini berhasil menghindari Arif—untuk sementara. Ia mengirim pesan balik yang tegas, mengatakan bahwa ia akan melaporkannya ke polisi jika Arif berani mendekat. Arif mundur, tetapi ancamannya menggantung di udara.
Dua hari kemudian, kontraksi hebat membawa Rini dan Dimas ke rumah sakit. Selama proses persalinan, Dimas menjadi batu sandaran Rini. Di tengah rasa sakit, Rini merasakan cinta tulus Dimas, yang hanya menambah rasa jijik pada dirinya sendiri.
Jaya lahir pada pukul 04.00 Wib dini hari. Dimas menangis haru saat menggendong putra mereka, menyelimuti bayi itu dengan cinta yang meluap-luap.
"Dia sempurna, Sayang. Sempurna," bisik Dimas, mengecup kening Rini.
Rini memaksakan senyum. Ketika perawat meletakkan Jaya di dadanya, pandangan Rini langsung terpaku pada mata bayi itu. Matanya besar, bulat, dan hitam pekat—persis seperti mata Arif. Itu bukan mata Dimas yang sipit dan tegas.
Rini menutup mata, menahan napas. Ia tahu, kebohongan ini telah lahir dan kini bernapas.
Kunjungan Terakhir Arif
Pagi hari, saat Dimas sedang keluar sebentar untuk mengurus administrasi, sebuah keributan terjadi di ruang perawatan Rini.
Seorang pria tinggi, gagah, dan terlihat panik masuk. Itu Arif.
"Kau melanggar janjiku," desis Rini, gemetar.
Arif menatap Rini, kemudian pandangannya jatuh pada Jaya yang tertidur pulas di boks bayi.
Keheningan sesaat memenuhi ruangan. Air mata Arif menetes.
"Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa pergi tanpa melihatnya," kata Arif, suaranya tercekat.
Ia meraih tangan Rini. "Dia persis sepertiku saat bayi, Rini. Kau tahu itu. Aku harus tahu... aku harus..."
"Pergi, Arif!" bentak Rini pelan, tetapi penuh ancaman.
Tepat pada saat itu, pintu terbuka dan Dimas masuk membawa seikat bunga. Dimas berhenti, bingung melihat Arif, teman kuliahnya, berdiri begitu dekat dengan ranjang istrinya, dengan ekspresi emosional yang aneh.
"Arif? Ada apa kau di sini?" tanya Dimas, nadanya langsung dingin.
Arief dengan cepat menarik diri. "Oh, Dimas! Selamat. Aku kebetulan ada urusan di rumah sakit ini... dan mendengar kabar. Aku datang untuk mengucapkan selamat," kata Arif, berusaha memasang senyum palsu.
Arif dengan cepat menepuk bahu Dimas, melirik Jaya sekali lagi dengan tatapan penuh kepemilikan, lalu menghilang.
Dimas menatap punggung Arif dengan curiga, lalu kembali menatap Rinu.
"Sejak kapan kalian sedekat itu? Mengapa dia sangat emosional?"
Rini berbohong. "Dia hanya bersimpati, Dimas. Dia tahu kita sudah lama menanti. Tolong, jangan hancurkan momen ini dengan kecurigaanmu."
Kecurigaan Dimas mereda, tetapi tidak hilang. Ia mulai membandingkan wajah Jaya dan Arif secara diam-diam. Dan setiap kali ia membandingkan, bayangan keraguan mulai tumbuh di hatinya.
Pengungkapan yang Menghancurkan
Dua bulan kemudian, Dimas sudah menjadi ayah yang luar biasa. Namun, keraguan itu tak pernah sirna. Puncaknya terjadi saat Dimas tak sengaja mendengar percakapan antara istrinya dan ibunya melalui telepon.
"Iya, Bu... Jaya sehat. Tapi setiap hari aku takut Dimas menyadari dia lebih mirip... dia daripada Dimas," bisik Rini panik.
Dimas terdiam di ambang pintu, ponselnya jatuh ke lantai. Ia tidak perlu mendengar lebih jauh. Malam itu, ia mengambil sebuah keputusan. Ia menghubungi kontak rahasia dan diam-diam mengirimkan sampel air liur dirinya dan Jaya untuk tes DNA.
Dua minggu kemudian, sebuah amplop cokelat tiba di kantor Dimas. Dimas mengunci diri di ruang kerjanya. Jantungnya berdebar kencang, berharap, memohon agar keraguannya adalah paranoia semata.
Ia membuka amplop itu, membaca baris demi baris, hingga matanya terpaku pada kesimpulan:
> PROBABILITAS DIMAS ADALAH AYAH BIOLOGIS JAYA: 0.00℅>
Dunia Dimas runtuh. Itu bukan hanya angka, itu adalah pengkhianatan yang paling mendalam. Selama sembilan bulan, ia telah merayakan, melindungi, dan mencintai kebohongan yang hidup. Kemarahannya begitu besar, ia bahkan tidak sanggup berteriak.
Konfrontasi dan Pukulan Keras
Dimas pulang ke rumah yang hening. Rini sedang menidurkan Jaya. Dimas meletakkan hasil tes DNA itu di meja kopi ruang tamu.
Rini melihat amplop itu. Pandangannya beralih ke wajah Dimas, yang kini tampak asing, keras, dan penuh kehancuran. Ia tahu, waktunya telah tiba.
"Siapa dia, Rini ?" tanya Dinas, suaranya rendah dan menusuk.
Rini tidak bisa berbohong lagi. Air mata tumpah membasahi pipinya. "Dimas... aku minta maaf. Itu... Arif."
Dimas tertawa, tawa hampa yang menyakitkan. "Arif? Teman yang kusangkakan datang untuk memberi selamat?! Kau tahu, aku mencintai anak ini. Aku mencintai bayangan anak ini. Kau mengambil sembilan bulan kebahagiaanku, Rini.
Kau menanam benih kebohongan di rahimmu dan membiarkanku menyiramnya dengan cinta."
Rini mencoba meraih tangannya, "Aku kesepian, Dimas! Kau mengabaikanku! Aku hanya mencari..."
"Pelarian?" potong Dimas tajam. "Aku sibuk, ya, tapi aku bekerja untuk kita. Aku bekerja untuk anak yang kau janjikan padaku. Kau tidak berhak membalas ketidakpuasanmu dengan pengkhianatan ini. Kau telah menghinaku sebagai suami, dan yang lebih parah, kau menghina anak tak berdosa ini dengan asal usul yang penuh dusta!"
Akhir yang Pahit
Dimas mengajukan gugatan cerai pada hari berikutnya. Ia menuntut hak asuh penuh atas Jaya, meskipun ia tahu Jaya bukan darah dagingnya. Alasan utamanya: Rini dianggap tidak layak membesarkan anak karena ia terbukti mampu melakukan penipuan dan manipulasi emosional yang begitu besar.
Rini, yang kini diceraikan dan dicap sebagai pengkhianat, harus menghadapi kenyataan pahit. Arif, yang mengetahui Dimas telah mengetahui kebenaran, kembali dan menuntut haknya sebagai ayah biologis, memperkeruh masalah.
Rini di ruang pengadilan.
Ia melihat Dimas, yang tampak tua dan dingin, di sisi lain ruangan, memegang Jaya yang kini berusia satu tahun. Ia melihat Arif, yang tampak penuh harap, duduk di kursi penonton.
Rini kini harus memperjuangkan haknya sebagai seorang ibu di hadapan hukum, tanpa dukungan, setelah ia sendiri yang merusak kehidupannya dengan kebohongan.
Hakim mengetuk palu. Takdir Jaya, anak yang lahir dari cinta yang salah dan kebahagiaan yang palsu, akan segera ditentukan.
Ruang Sidang: Keputusan Hakim
Rini duduk di kursi terdakwa, pucat pasi. Dimas tampak tenang, tetapi matanya dingin dan jauh. Arif duduk di barisan belakang, menantikan momennya.
Hakim Ketua membacakan putusan:
"Pengadilan telah mempertimbangkan semua bukti, termasuk tes DNA yang tak terbantahkan, dan fakta bahwa Tuan Dimas bukan ayah biologis Ananda Jaya. Namun, Pengadilan juga mencatat bahwa Nyonya Rini telah melakukan penipuan substansial yang melibatkan identitas anak selama kehamilan dan setelah kelahiran."
Hakim berhenti, pandangannya tertuju pada Rini.
"Pengadilan mengakui bahwa Nyonya Rini adalah ibu kandung. Namun, stabilitas emosional, kemampuan finansial, dan bukti komitmen yang paling konsisten datang dari Tuan Dimas. Selama Tuan Dimas meyakini ia adalah ayah, ia memberikan cinta dan dukungan yang tak terhingga."
Palu Pengadilan berdentum keras.
"Hak asuh penuh Ananda Jaya diberikan kepada Tuan Dimas."
Rini terhuyung, dunia seakan berhenti berputar. Ia kehilangan kata-kata, hanya isak tangis yang terdengar.
"Tuan Arif sebagai ayah biologis, diberikan hak untuk mengajukan petisi kunjungan dan dukungan finansial. Nyonya Rini diberikan hak kunjungan yang diawasi sampai kondisi psikologisnya dinilai stabil oleh Pengadilan."
Keputusan itu adalah vonis terberat bagi Rini. Dimas mendapatkan anaknya—anak yang bukan darahnya. Rini kehilangan anak yang ia lahirkan.
Dimas (Sang Ayah Pilihan):
Dimas membawa Jaya pulang. Ia tidak lagi melihat Arif di mata Jaya. Ia hanya melihat anaknya, anak yang ia pilih dan ia cintai. Ia menjalani hidup sebagai ayah tunggal. Kepada dunia, ia mengatakan Rini dan dirinya bercerai secara damai, tetapi ia tidak pernah mengungkapkan kebenaran tentang garis keturunan Jaya.
Dimas hidup dengan rahasia itu, menanggung beban kebohongan Rini, demi menjaga martabat Jaya.
Arif (Sang Ayah Kandung):
Arif mencoba mengajukan petisi hak kunjungan, namun Dimas menggunakan koneksi dan alasan stabilitas selalu berhasil membatasi pertemuan mereka. Arif akhirnya hanya diizinkan bertemu Jaya beberapa kali dalam setahun, selalu di bawah pengawasan Dimas.
Ia mendapat "hak" genetiknya, tetapi kehilangan hak untuk menjadi ayah. Ia akhirnya pindah ke luar negeri, meninggalkan uang dukungan anak sebagai satu-satunya bentuk kontribusinya.
Rini (Sang Ibu yang Terbuang):
Rini harus pindah dari rumah mewah mereka. Ia tidak punya pekerjaan dan hanya memiliki aset yang dibagi dalam perceraian. Ia kehilangan status sosial, suaminya, dan yang terpenting, Jaya.
Enam bulan setelah putusan, Rini bekerja sebagai asisten kurator di sebuah galeri seni kecil—kembali ke dunia yang mempertemukannya dengan Arif, dan Dimas.
Ia kini hidup sendiri di apartemen kecil.
Pada hari kunjungan pertamanya yang diawasi, Dimas membawakan Jaya. Jaya, yang kini berusia satu setengah tahun, belum bisa berbicara banyak, tetapi ia memanggil Dimas, "Ayah."
Rini mencoba memeluk Jaya, tetapi anak itu tampak canggung. Dimas mengawasi mereka dari kejauhan.
"Kau merawatnya dengan baik, Dimas," bisik Rini.
Dimas hanya mengangguk, tanpa emosi. "Aku sudah berjanji pada anak ini. Aku tidak pernah melanggar janji."
Rini menyadari, Dimas jauh lebih jujur padahal ia menanggung kebohongan, sementara Rini telah berbohong padahal ia membawa kebenaran.
Rini mendongak, merasakan tetesan air mata. Ia telah menghancurkan hidupnya demi pelarian sesaat dan sebuah rahim yang terisi oleh bayangan. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi anak yang penuh cahaya, dan cahaya itu telah direnggut darinya oleh tangan seorang pria yang memilih mencintai, alih-alih membenci.
Ia tidak menyesali Jaya. Ia hanya menyesali kebohongan yang membuatnya kehilangan hak untuk menjadi ibu sejati. Di matanya, palu hakim tidak menghukumnya karena perselingkuhan, tetapi karena menjual cinta murni seorang ayah demi menutupi kesepiannya sendiri.
***TAMAT****

Posting Komentar