Kampar, (potretperistiwa.com) - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah adalah landasan hukum yang sangat krusial untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok dan menciptakan lingkungan belajar yang sehat. Namun, setelah bertahun-tahun berlaku, realitas di lapangan menunjukkan bahwa peraturan ini seringkali hanya menjadi 'macan kertas'—tegas di atas kertas, namun lemah dalam implementasi.
Banyak sekolah, baik disadari atau tidak, masih melanggar ketentuan KTR ini. Pelanggaran ini bukan hanya sekadar urusan administratif, melainkan menyentuh inti dari komitmen institusi pendidikan terhadap kesehatan anak didiknya, hal itu diungkapkan oleh Asril selaku Ketua DPD Kampar Solidaritas Pers Indonesia, pada Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, beberapa faktor utama disinyalir menjadi penyebab utama mengapa Permendikbud ini sulit ditegakkan, diantaranya adalah Pelanggaran oleh Figur Otoritas, salah satu ironi terbesar adalah ketika guru, tenaga kependidikan, atau bahkan kepala sekolah sendiri yang menjadi pelanggar aturan. Ketika figur yang seharusnya menegakkan disiplin justru terlihat merokok di area sekolah (walaupun 'sembunyi-sembunyi') atau di sekitar gerbang, pesan yang diterima siswa adalah bahwa aturan tersebut bisa dinegosiasikan. Ini merusak kredibilitas kebijakan secara keseluruhan.
Selain itu kelemahan Penegakan Sanksi, Peraturan telah menetapkan larangan keras, tetapi sanksi yang diterapkan seringkali tidak tegas atau tidak konsisten. Sekolah cenderung takut memberikan sanksi berat kepada guru atau staf, dan hanya memberikan teguran ringan kepada siswa. Ketiadaan ketegasan ini membuat efek jera sulit tercapai.
Tak hanya itu menurut Asril, keterbatasan Pengawasan Eksternal juga menjadi pemicu, dimana Dinas Pendidikan setempat atau pihak terkait lainnya seringkali tidak memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi yang memadai untuk memastikan semua sekolah menjalankan Permendikbud No 64 Tahun 2015 secara optimal.
Dampak Fatal dari Pelanggaran
Jika Permendikbud ini terus dilanggar, dampaknya akan fatal:
Dikatakan Oleh Ketua DPD SPI Kabupaten Kampar bahwa ketika siswa melihat orang dewasa di sekolah merokok, hal itu akan menormalisasi perilaku merokok. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi zona aman justru menjadi tempat paparan dan "sekolah" untuk menjadi perokok.
Kemudian kebiasaan merokok di sekolah tentu akan berisiko terhadap kesehatan, anak-anak dan remaja yang terpapar asap rokok pasif secara terus-menerus berisiko tinggi mengalami gangguan pernapasan dan masalah kesehatan jangka panjang lainnya. Tujuan menciptakan lingkungan yang sehat menjadi gagal total.
Tak hanya berpengaruh terhadap kesehatan, tabiat merokok dikawasan sekolah tentu berdampak terhadap Hilangnya Peluang Edukasi, Sekolah akan kehilangan kesempatan untuk menjadi agen perubahan (agent of change) yang mengajarkan pentingnya gaya hidup sehat dan anti-rokok kepada siswa, orang tua, dan komunitas sekitarnya.
Jalan Ke Depan : Perlu Komitmen Total
Untuk mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 dari jurang realitas pelanggaran, diperlukan komitmen total dari semua pihak, pertama Ketegasan Kepala Sekolah, Kepala sekolah harus menjadi garda terdepan dengan menegakkan sanksi tanpa pandang bulu, bahkan kepada guru dan staf.
Kemudian Sosialisasi Menyeluruh, Edukasi mengenai bahaya rokok dan aturan KTR harus dimasukkan secara eksplisit dalam kurikulum, kegiatan OSIS, dan pertemuan dengan orang tua.
dan terakhir tentu adanya Pengawasan Aktif dari Dinas Pendidikan, Disdik harus lebih proaktif dalam melakukan sidak dan evaluasi rutin, serta memberikan penghargaan kepada sekolah yang patuh dan sanksi tegas kepada yang melanggar.
" Permendikbud 64/2015 adalah investasi kesehatan terbesar bagi masa depan bangsa. Melanggar peraturan ini sama saja dengan mengorbankan masa depan anak-anak kita. Sudah saatnya sekolah bukan hanya bebas rokok di plang depan, tetapi juga bebas rokok di setiap sudut dan praktik sehari-hari " Pungkas Asril mengakhiri.
Sebelumnya masyarakat Indonesia sempat dihebohkan dengan berita adanya kepala sekolah dinonaktifkan dari jabatan karena menegakkan disiplin kepada salah satu siswa yang ketahuan merokok dilingkungan Sekolah.
Hal itu dialami oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Dini Fitria. Dini Fitria resmi dinonaktifkan dari jabatannya oleh Pemerintah Provinsi Banten. Langkah ini diambil setelah dirinya diduga melakukan tindak kekerasan terhadap seorang siswa berinisial ILP (17).
Insiden yang terjadi pada Jumat (10/10/2025) itu bermula ketika Dini memergoki ILP sedang merokok di belakang warung sekitar area sekolah.
Akibat tindakannya yang menampar siswa tersebut, suasana di sekolah menjadi memanas dan berujung pada aksi mogok sekolah oleh 634 siswa.
Penonaktifan Dini dilakukan sebagai langkah sementara untuk menenangkan situasi di SMAN 1 Cimarga.
Sekretaris Daerah Provinsi Banten, Deden Apriandhi, menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil demi menjaga suasana sekolah agar kembali kondusif.
“Supaya situasinya clear, karena para siswa jadi banyak yang tidak masuk sekolah setelah kejadian itu,” ujar Deden kepada wartawan di Pendopo Gubernur Banten, Selasa (14/10/2025).
Menurut Deden, pihaknya sedang melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan pihak yang mengetahui kejadian tersebut.
Hasil investigasi akan menentukan sanksi kedisiplinan dan hukum terhadap oknum yang terlibat.
“Kalau terbukti ada tindakan kekerasan, tentu ada konsekuensinya sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.
Bagaimana tanggapan Netizen terhadap kasus ini, antara penegakkan aturan disiplin serta Permendikbud No 64 Tahun 2015 tentu akan berdampak terhadap Kekhawatiran Guru, Guru merasa terjepit antara tuntutan untuk mendidik dan menegakkan kedisiplinan dengan risiko berhadapan dengan hukum, terutama dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA).
Sebenarnya, terdapat upaya perlindungan hukum bagi guru yang melaksanakan tugas profesionalnya, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, dan juga diperkuat dengan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA). Intinya, guru tidak dapat dipidana ketika menjalankan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dalam mendisiplinkan siswa, selama tindakan tersebut bersifat mendidik dan tidak melanggar kode etik guru atau peraturan perundang-undangan (misalnya bukan kekerasan fisik atau psikis yang berlebihan).
Posting Komentar