Bab 2: Dinding Keheningan dan Rasa Bersalah Rian


Di Pesisir Utara, Ramadan kembali terasa hampa bagi Rian. Tidak ada lagi tawa riang saat mereka menunggu adzan maghrib di teras. Tidak ada lagi bisikan rahasia saat sahur di bawah bulan. Yang ada hanyalah kekosongan di seberang jalan, dan dinding keheningan dari Kirana yang tak terpecahkan.


Dua tahun. Selama dua tahun, Rian telah mencoba segala cara.
* Pesan Singkat: Terakhir dibaca dua tahun lalu.
* Panggilan Telepon: Tidak pernah diangkat.
* Surel: Tidak pernah dibalas.
* Pesan Titipan: Ia pernah menitipkan surat melalui Nenek Mayang, namun Nenek Mayang mengembalikannya dengan tatapan sendu.

"Biarkanlah, Nak. Dia sudah memilih jalannya."
Jawaban Nenek Mayang itu semakin menguatkan satu-satunya kesimpulan yang ada di benak Rian: Kirana membencinya.

> "Dia sudah memilih jalannya. Jalan tanpaku, dan jalan itu dimulai dengan mematikan semua jejak komunikasi," gumam Rian suatu malam di dermaga.

> Ia duduk di tepi dermaga, memandangi cahaya rembulan yang memantul di laut. Rasa bersalah itu menusuknya, tebal dan dingin seperti kabut pagi.

"Aku pasti terlihat seperti pengecut," pikirnya.

Kirana pasti berpikir ia menyerah terlalu mudah. Saat adat menghantam, ia hanya mampu menunduk dan menerima takdir, alih-alih melawan dan membawa Kirana pergi.

"Dia menganggapku tidak sungguh-sungguh." Kirana adalah gadis pulau yang pemberani, terbiasa menghadapi ombak dan badai. Mungkin ia berharap Rian menjadi badai yang melindunginya, bukan pasir yang hanyut ditiup angin adat.

”Aku yang membuat perpisahan ini begitu menyakitkan." Rian yakin, keheningan Kirana adalah hukuman, hukuman yang setimpal karena ia tidak bisa berdiri di sampingnya dan berkata, "Kita akan hadapi ini bersama."

Rasa bersalah ini mengubahnya. Rian menjadi lebih pendiam, sering menyendiri, dan selalu menghindari pertemuan di surau atau di pasar, takut jika ada yang bertanya tentang "Gadis Pulau" yang kini menghilang tanpa kabar.

Tahun ini, saat Kirana kembali, Rian melihatnya. Dan lagi-lagi, ia hanya bisa mematung di teras. Tatapan Kirana yang sekilas dan segera menunduk, bagi Rian, adalah konfirmasi terakhir.

"Dia bahkan tak mau membuang-buang waktu untuk menatapku," bisiknya pahit.

Ia tidak pernah tahu. Kirana diam bukan karena membenci. Kirana diam karena cinta itu masih hidup, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan Rian, menyelamatkan keluarganya, dan mematuhi adat adalah dengan menciptakan ilusi kebencian melalui kebisuan.

Kirana rela dirinya dianggap jahat, kejam, dan pembenci oleh Rian, asalkan Rian bisa melanjutkan hidupnya tanpa bayangan perjuangan yang sia-sia.

Di tengah jarak yang membentang, dua hati yang masih saling mencintai tersiksa dalam dua pemahaman yang kontradiktif:

Rian: Aku pantas dibenci karena aku gagal melindunginya. Keheningannya adalah buktinya.

Kirana: Aku harus dibenci agar dia bisa bebas. Keheninganku adalah bentuk perlindunganku yang terakhir.

Konflik mereka kini bukan lagi dengan adat, tapi dengan misinformasi yang tak terhindarkan..

Bersambung.....

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama