Bab 1: Aroma Kepulangan di Pesisir
Ombak mencium bibir pantai dengan desahan pelan, membawa serta aroma garam dan janji-janji lama. Bagi Kirana, aroma itu adalah bau rumah, bukan rumahnya yang berdinding kayu di kepulauan sana, melainkan rumah neneknya di daratan Pesisir Utara.
Setiap tahun, saat bulan Ramadan tiba, Kirana akan mengarungi lautan, meninggalkan laut biru yang keras menuju tanah kering yang lebih hangat.
Rumah Nenek Mayang adalah rumah panggung kecil yang menghadap langsung ke lautan, dipisahkan hanya oleh jalan setapak berpasir. Dan persis di seberang rumah neneknya, berdiri rumah kayu dengan teras lebar milik keluarga Bakri. Di teras itulah, setiap sore menjelang berbuka, ia akan melihatnya.
Tahun ini, saat Kirana turun dari mobil travel, pandangannya langsung menangkap sosok tinggi yang sedang menyiram tanaman di halaman. Itu dia. Rian anaknya Pak Bakri.
Rian menoleh, senyumnya yang selama ini hanya bisa Kirana lihat lewat foto usang di ponsel, kini nyata. Senyum yang selalu berhasil membuat dadanya bergetar.
"Kira! Sudah sampai?" Rian berjalan cepat melintasi jalan berpasir.
"Baru saja. Kenapa kau sudah di sini? Bukankah biasanya kau baru pulang seminggu sebelum Lebaran?" Kirana membalas sapaan itu dengan pelukan singkat, yang terasa seperti kembali ke pelabuhan setelah perjalanan jauh.
"Kerjaan di kota sedang sepi karena mau puasa. Aku ambil cuti lebih awal. Tahu kau akan datang," jawab Rian dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan.
Mereka berdua tumbuh di lingkungan ini, setidaknya selama sebulan penuh setiap tahun. Mereka tahu semua rahasia masa kecil masing-masing, semua janji-janji konyol, dan semua mimpi yang mereka bisikkan di bawah langit bertabur bintang saat sahur.
Bisikan Larangan
Ramadan tahun itu berbeda. Malam-malam yang biasanya diisi dengan obrolan ringan di teras, kini dipenuhi dengan kata-kata yang lebih serius. Setelah shalat tarawih berjamaah di surau, Kirana dan Rian akan duduk di bawah pohon ketapang, menikmati angin malam.
"Kira, aku serius denganmu. Aku sudah bicara pada ibuku," ujar Rian suatu malam, menggenggam jemari Kirana erat.
Jantung Kirana berdebar tak karuan. "Apa kata Tante Ratna?"
"Beliau bilang, 'Pilih gadis mana pun, asal jangan dari marga Lantaran.'"
Kata-kata itu menghantam Kirana bagai ombak besar. Marga Lantaran. Marga ayahnya, marga yang diturunkan padanya, dan marga yang juga dimiliki oleh Nenek Mayang di Pesisir ini. Marga yang sama dengan Rian.
"Kenapa? Kita kan satu desa di sini," tanya Kirana, suaranya tercekat.
Rian menarik napas berat. "Kira, kau tahu adat di sini, kan? Kita memang satu suku besar, Suku Pesisir. Tapi di dalam suku itu, ada keyakinan yang dipegang teguh. Dahulu kala, nenek moyang kita percaya bahwa pernikahan sesama marga yang sama-sama berasal dari Pesisir Utara dan Pesisir Selatan—meski berbeda pulau—akan membawa malapetaka bagi keturunan. Konon, karena itu melanggar ikatan darah yang terlalu dekat."
Wajah Kirana memucat. Ia selalu menganggap adat itu hanya cerita pengantar tidur, dongeng usang yang tak relevan. Tapi di mata Rian, di mata ibunya Rian, dan di mata seluruh masyarakat desa itu, ini adalah kebenaran mutlak.
"Nenekmu juga sudah tahu?" Rian mengangguk kaku. "Tadi siang, nenekmu bilang padaku, 'Lebih baik kalian putus sekarang, Nak. Daripada melanggar sumpah nenek moyang. Kami tidak ingin menanggung risikonya.'"
Air mata Kirana menetes. "Jadi... semua ini sia-sia?"
Senyap di Ujung Komunikasi
Keputusan diambil. Perpisahan itu terjadi secara sepihak, dikarenakan tekanan adat yang mencekik. Mereka tahu, melawan berarti dikucilkan, dihujat, bahkan dikutuk. Mereka terlalu mencintai keluarga dan komunitas mereka untuk menjadi penyebab kehancuran itu.
Seminggu setelah Lebaran, Kirana kembali ke kepulauan. Kali ini, ia membawa serta hati yang hampa dan sebuah keputusan mutlak: Memutus semua komunikasi dengan Rian.
Awalnya, Rian tidak mengerti. Ia terus mengirim pesan, menelepon, dan bahkan mengirim surat.
Rian: "Kira, aku tahu ini sulit. Tapi kita bisa jadi teman, kan? Kita masih bisa saling menyapa."
Rian: "Kenapa kau tak membalas pesanku? Apa salahku? Aku pikir kita berpisah baik-baik karena adat, bukan karena kita saling membenci."
Rian: "Aku minta maaf. Maaf karena aku tak bisa berjuang lebih keras. Tapi tolong, bicaralah denganku. Apa yang membuatmu diam seperti ini?"
Semua pesan itu tak pernah dibalas. Semua panggilan dibiarkan berdering hingga mati. Kirana, di pulau kecilnya yang jauh, memeluk ponselnya erat, membiarkan air mata membasahi layarnya.
Ia tidak bisa. Ia tidak sanggup.
Kirana tahu, selama ada komunikasi, selama ada sapaan, benang cinta itu akan terus melilitnya. Dan jika itu terjadi, ia akan terus berjuang melawan adat, melawan keluarga, dan melawan takdir. Diam adalah satu-satunya cara untuk membunuh cinta itu secara total. Diam adalah pengorbanan terakhirnya demi kedamaian semua orang.
Tapi Rian tidak tahu.
Di Pesisir Utara, Rian merenung di teras yang dulu menjadi saksi bisu kisah mereka. Ia diliputi rasa bersalah yang tak terperi.
"Apa yang kulakukan hingga Kirana membenciku sebegitu rupa? Apakah karena aku tak cukup berani melanggar adat? Apakah ia menganggapku seorang pengecut?"
Rian yakin, putusnya hubungan itu adalah kesepakatan pahit. Ia tidak mengerti mengapa setelah perpisahan itu, Kirana memasang dinding keheningan yang begitu tebal. Ia tak tahu, bahwa keheningan itu adalah teriakan cinta yang paling sunyi dari seorang gadis yang harus memilih antara cintanya dan kedamaiannya.
(Dua Tahun Kemudian)
Ramadan kembali. Aroma garam kembali menyeruak di Pesisir Utara. Rian melihat mobil travel berhenti di depan rumah nenek Kirana. Ia melihat Kirana turun, kini mengenakan jilbab yang lebih panjang.
Mata mereka bertemu. Hanya sedetik. Kirana segera menunduk dan bergegas masuk. Rian ingin berteriak, ingin berlari, ingin bertanya sekali lagi: "Kenapa?"
Tapi ia hanya diam di teras, memandang punggung gadis itu. Ia masih berpegangan pada kesalahpahaman, pada rasa bersalah yang ia ciptakan sendiri. Ia percaya, Kirana membencinya karena kegagalannya.
Dan Kirana, di balik pintu, menggigit bibirnya menahan tangis. Ia tahu, Rian tidak mengerti. Ia tahu, Rian menderita. Tapi ia harus mempertahankan keheningan ini. Selamanya.
Cinta mereka tak hanya kandas karena adat, tapi juga terkubur dalam salah paham yang tercipta dari pengorbanan sunyi....
Bersambung....

Posting Komentar