Bab 5 Penutup: Badai Hujjah dan Rahmat yang Menyatukan


Konfrontasi Hassan dan kelompoknya (KDE) mulai memecah belah komunitas. Mereka menyebarkan desas-desus bahwa Ustadz Cahaya mengajarkan Islam yang menyimpang, terutama karena kedekatannya dengan Mr. Hiroshi dan fokusnya pada isu-isu duniawi.


Beberapa anggota komunitas yang baru saja menemukan semangat beragama menjadi bingung dan takut. Ayu, Rizky, dan beberapa relawan setia berusaha menangkis tuduhan itu, namun Hassan menggunakan dalil-dalil agama secara parsial, membuat argumennya terdengar kuat di telinga orang awam.

"Kalian terlalu fokus pada Rahmatan Lil 'Alamin sampai lupa bahwa Islam itu adalah penyerahan total, bahkan jika itu pahit! Ustadz Cahaya hanya mencari popularitas!" seru Hassan dalam sebuah pertemuan informal.


Untuk meredakan ketegangan, Ustadz Cahaya mengumumkan bahwa ia akan mengadakan kajian khusus tentang Fiqh Prioritas (Fiqh al-Awlawiyyat), sebuah cabang ilmu yang membahas mana yang harus didahulukan dalam beramal dan berdakwah.
Kajian itu dihadiri oleh Hassan dan pengikutnya. Mereka datang membawa catatan tebal, siap beradu dalil.

Ustadz Cahaya memulai dengan tenang: "Dakwah di Negeri Seberang ini menuntut kita memahami apa kebutuhan prioritas audiens kita. Apakah lebih utama menghafal seluruh sunnah, atau memastikan perut saudara kita yang kelaparan terisi? Apakah lebih utama berkhutbah tentang azab neraka, atau membantu seorang saudari yang terancam bunuh diri karena hutang?"

Ustadz Cahaya kemudian menjelaskan:
Prioritas Kebutuhan (Dharuriyyat): Di sini, isu kemanusiaan (keamanan, kelangsungan hidup) lebih diutamakan daripada isu penyempurnaan (sunnah, furu'). "Ketika seseorang terancam rentenir dan putus asa, memberikan bantuan praktis dan menunjukkan solidaritas adalah prioritas dakwah, karena ini adalah penerapan langsung dari sifat Rahmat Allah."

”Kita berada di Jepang, negara dengan budaya ketertiban tinggi. Jika kita berdakwah dengan kekacauan, atau menuntut hal yang tidak relevan dengan hukum negara, kita hanya akan menimbulkan mafsadah (kerusakan).

Berdakwah di sini harus dengan akhlak yang lebih tinggi dari akhlak mereka, agar mereka melihat keindahan Islam."

"Inti Islam adalah tauhid dan akhlak. Jika Mr. Hiroshi melihat kejujuran, keadilan, dan kasih sayang kita, dia melihat inti Islam. Itu lebih berharga daripada seribu ceramah yang penuh kata-kata keras tapi kosong tindakan."

Saat Ustadz Cahaya selesai, Hassan bangkit, siap memberikan sanggahan. Tiba-tiba, pintu Rumah Lentera terbuka. Rizky masuk dengan wajah panik.

"Ustadz! Ada kecelakaan di dekat lokasi kerja. Seorang pekerja kita dari Indonesia terluka parah. Dia... dia butuh darah!"

Ustadz Cahaya langsung berdiri. "Apa golongan darahnya?"

"O Rhesus Positif, Ustadz! Kami sudah hubungi PMI setempat, tapi persediaan terbatas..."

Situasi berubah tegang. Hassan, meskipun kaku dalam berprinsip, memiliki golongan darah O Rhesus Positif. Namun, ia sempat berujar pada pengikutnya bahwa mendonorkan darah kepada non-Muslim yang mungkin juga terluka adalah syubhat (meragukan).

Ustadz Cahaya menatap Hassan. Ia tidak memaksa. Ia hanya berkata lembut, mengutip sebuah hadis: "Orang-orang yang berbelas kasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit."

"Ini bukan soal siapa yang benar atau salah dalam fikih, Hassan. Ini soal nyawa manusia yang membutuhkan rahmat Allah melalui tangan kita. Ini adalah ujian terbesar dari akhlak dan prioritas kita."

Hassan terdiam, menunduk. Ia melihat wajah Ustadz Cahaya yang penuh ketulusan, bukan kebencian. Ia teringat betapa Islam menempatkan penyelamatan satu jiwa setara dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Dengan langkah ragu, Hassan akhirnya mengangguk. "Saya... saya punya O Positif. Mari, Ustadz. Kita berangkat sekarang."

Ustadz Cahaya, Hassan, Rizky, dan beberapa relawan bergegas ke rumah sakit. Hassan mendonorkan darahnya dengan ikhlas. Tindakan itu, bukan dalil-dalil yang diucapkan, yang menghancurkan benteng keangkuhannya.
Malam itu, saat mereka kembali, Hassan mendekati Ustadz Cahaya.

"Ustadz Cahaya... saya minta maaf. Saya terlalu fokus pada huruf-huruf, sampai lupa pada roh agama ini," ujar Hassan dengan suara lirih.

"Tindakan Anda, keramahan Anda kepada Mr. Hiroshi, dan prioritas Anda pada nyawa saudara kita... itu adalah bukti dakwah yang sejati."

Ustadz Cahaya merangkul bahu Hassan. "Kita semua adalah pencari cahaya di negeri seberang ini, Hassan. Perbedaan pandangan adalah rahmat, asalkan kita kembali pada inti: kasih sayang dan persatuan."

Rumah Lentera tidak lagi terpecah. Hassan dan pengikutnya bergabung, membawa semangat berdakwah mereka yang tinggi ke dalam bingkai wasathiyah Ustadz Cahaya.

Cahaya di Negeri Seberang semakin terang. Ustadz Cahaya berhasil membuktikan bahwa dakwah yang paling efektif bukanlah yang paling keras atau paling eksklusif, melainkan yang paling relevan, penuh kasih sayang, dan berani mengedepankan kemanusiaan di atas segalanya. Misi awalnya telah terpenuhi: ia telah menjadi lentera, yang cahayanya menyentuh hati, tanpa memaksakan pandangan.


Lentera yang Abadi

Tiga tahun berlalu sejak Ustadz Cahaya pertama kali menginjakkan kaki di Kyoto. Rumah Lentera kini telah berkembang menjadi pusat komunitas yang diakui secara resmi, bukan hanya oleh diaspora Muslim, tetapi juga oleh pemerintah kota sebagai model integrasi dan kerukunan.

Ayu, yang dulunya adalah jiwa yang hampa, kini bekerja sebagai manajer di sebuah restoran halal milik komunitas dan aktif mengajar mengaji bagi anak-anak migran. Ia menemukan kembali harga dirinya dalam pelayanan kepada Allah dan sesama.

Hassan dan kelompoknya menjadi tulang punggung Rumah Lentera dalam urusan pendidikan agama yang mendalam, menyalurkan semangat mereka yang tinggi menjadi energi positif yang konstruktif. Mereka bekerja bahu-membahu dengan Ustadz Cahaya.

Persahabatan antara Ustadz Cahaya dan Mr. Hiroshi menjadi simbol kerukunan antarumat beragama di Kyoto. Mr. Hiroshi, yang kini telah menjual tokonya dan pensiun, menghabiskan waktunya membantu merawat taman Rumah Lentera.

Suatu sore, saat bunga sakura sedang mekar penuh, Mr. Hiroshi dan Ustadz Cahaya duduk di beranda.

"Ustadz Cahaya," kata Mr. Hiroshi, memandang keindahan bunga sakura. "Engkau datang membawa cahaya, namun engkau tidak pernah memaksa kami berjalan dalam terangmu.

Engkau hanya membuat kami melihat keindahan cahaya itu dari sudut pandang kami sendiri."

Ustadz Cahaya tersenyum teduh. "Mr. Hiroshi, Islam mengajarkan bahwa kita semua adalah musafir di dunia ini. Di Negeri Seberang ini, saya belajar bahwa rahmat itu harus melampaui batas-batas suku dan agama. Keindahan ajaran Allah adalah ia berbisik di telinga setiap jiwa yang bersih."

Setelah menyelesaikan pendirian yayasan, menguatkan kepengurusan, dan memastikan keberlanjutan Rumah Lentera di bawah kepemimpinan Rizky dan Hassan, tiba saatnya Ustadz Cahaya harus kembali ke tanah air, tempat tanggung jawab baru menanti.
Di bandara, komunitas Muslim dan Mr. Hiroshi datang mengantar. Air mata Ayu, Rizky, dan bahkan Hassan tumpah. Mereka tidak hanya kehilangan seorang guru, tetapi juga seorang figur ayah spiritual yang menyatukan mereka.
Sebelum berpisah, Ustadz Cahaya menyerahkan kunci duplikat Rumah Lentera kepada Rizky.

"Kunci ini bukan untuk pintu fisik, Rizky," pesan Ustadz Cahaya. "Kunci ini untuk pintu hati. Jaga api di dalam lentera itu tetap menyala. Ingat, Cahaya di Negeri Seberang ini adalah kalian semua. Cahaya itu tidak padam saat saya pergi, justru ia harus bersinar lebih terang lagi."

Ustadz Cahaya melambaikan tangan, kemudian menaiki tangga pesawat. Ia meninggalkan Kyoto, namun ia tidak meninggalkan kegelapan. Ia telah menanam benih keimanan yang kokoh, menumbuhkan persaudaraan yang melintasi batas-batas negara, dan membuktikan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah mata uang universal yang berlaku di setiap negeri.

Di balik jendela pesawat, ia melihat cahaya kota Kyoto yang mulai meredup, namun ia tahu, di sana, di tengah-tengah kesibukan dan modernitas, sebuah lentera kecil bernama Rumah Lentera akan terus menyala, menjadi saksi bisu rahmat Allah di negeri yang jauh.***


*****TAMAT*****.

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama